Selasa, 28 Juni 2011

Pemilik Hati -Part 2-

“Tidak ada jalan lain, pak. Dia adalah murid pandai. Tak pernah sekalipun masuk BP di sekolah lamanya. Saya yakin dia bisa merubah Reno,” usul bu Arik pada pak Dery, sang kepala sekolah.

Pak Dery melepas kacamatanya dan mendengus, “Baiklah, saya akan buat dia berubah. Saya juga sebenarnya kasian padanya. Saya benar-benar akan melakukan perubahan.”

♪♫♪♫♪

Andre melepas kacamatanya, lalu membersihkanny, “Gak kena lagi, kan?” tebaknya.

Reno menggeleng, “kaya biasanya, lah. Gue gak salah, kan? Walaupun gue hobi tawuran, gue masih bisa bedain mana yang bener dan yang salah,” celotehnya

“Hei Ren, Ndre!!” sapa Valen ramah.

Andre menoleh, “Hey Len!” jawabnya sedikit canggung.

Valen melempar senyum kea rah Andre, lalu mengalihkannya dan menatap Reno penuh tanda Tanya, “Oiya Ren, aku tadi di panggil Bu Arik, dia bilang kamu mau les ke aku, ya? Wah, aku dengan senang hati bakal ngajarin kamu!” cerocos Valen.

Reno melongo, saking speechless-nya dia hanya terbengong mendengar perkataan Valen. Dia hanya bisa memandangi Valen dengan tatapan tak percaya.

Andre tak beda jauh dengannya. Dia juga hanya bisa diam dan memandangi Valen dan Reno secara bersamaan.

“Kok ngeliatinnya gitu amat, sih?” Tanya Valen ketika mendapati keduanya cowok di depannya ini menatapinya dengan tatapan yang aneh.

“Gue gak butuh siapapun, apalagi les. Hello? Umur gue tahun ini 17, man! Masa iya, gue butuh guru les? Dan, seenggaknya pelajaran gue gak pernah dapet nilai yang bener-bener ancur, kali. Paling jelek juga 40. Dan gue tegasin, GUE GAK PERLU ELO,” ujar Reno dingin.

Valen sedikit kaget dengan ucapan Reno, “Ta-tapi, Bu Arik…”

“Gue yang bakal bilang sama Bu Arik,” potong Reno cepat.

“Daripada ngajarin Reno, mending ngajarin aku aja Len,” tawar Andre sambil meringis.

“Bolehh,” jawab Valen. Keadaan pun hening sesaat.

Tak lama kemudian, Bima memasuki kelas dengan wajah berseri, sambil menenteng sebuah kantong plastic berisikan jajanan kantin. “Hallo semuanyaaaa, pasti belom pada makan, kan? Ini gue bawain makanan. Baik, kan? Hehehe,” Katanya sambil terkekeh.

Reno mencomot somay yang ada di dalam kantong plastic itu. Lalu di sambut jitakan oleh Bima. “Woy, jatah lo yang itu aja, ini punya gueee,” kata Bima sewot sambil merebut somaynya.

Reno mengubek-ubek isi kantong plastik, lalu mendengus, “Kalo gak niat beliin kita-kita makanan, gak usah pake nawarin segala, apaan nih?? Cuma bakwan doang,” gerutu Reno.

Bima memandang Reno dengan malas, “Kan duit gue gak sebanyak elo, Ren. Dan elo tau itu kan? Gue mampunya beli ini doang,” jawabnya kesal.

“Udah, udah. Elo juga, ngapain repot-repot beli makanan buat kita? Udah tau Reno gak suka makan gorengan,” Andre mendengus. Lalu memandang Reno, “Eh, ntar nongkrong di tempat biasa, yuk. Ulangan dadakan 2 hari terakhir ini ngebuat gue jadi pengen ngerefresh otak nih,” Andre mengalihkan pembicaraan.

“Boleh, hayuk,” Bima menoleh kea rah Valen. “Ikut yuk Len? Lo pasti belom sempet jalan-jalan di Jakarta, kan?” tawar Bima.

Valen mengangguk ragu, “belom sempet, sih. Ikut kemana? Enggak deh. Aku gak mau ganggu kalian,” tolaknya.

“Yahhh, ayo lah. Hari ini aja, yayaya? Ren, boleh kan?”

Reno mengangkat bahunya sambil tersenyum memaksa.

“Itu berarti boleh! Yeeeey,” sorak Andre dan Bima bersamaan.

“apa-apaan sih lo? Noraaaaak,” Reno beranjak dari sana tanpa memandang ketiga jiwa yang ada didepannya.

“Mau kemanaa??” Tanya Andre ketika Reno telah sampai di ujung pintu.

Reno berteriak, “Ke Ruang Introgasi,”

Andre dan Bima yang langsung mengerti hanya manggut-manggut. Valen memandang mereka, “ruang introgasi? Emangnya ada?”

Bima tergelak, “Ruang introgasi itu ruang BP, Len. Reno lebih suka nyebuut ruang introgasi,” jelasnya.

“Oh gitu,” Valen manggut-manggut.

“Eh Len, belom bisa pake bahasa gue-elo ya? Kita ajarin mau??” tawar Andre semangat.

“hah? Buat apa? Ada-ada aja,” Valen geleng-geleng kepala sambil berdecak.

Bima meringis, “biar lo ga di anggep kampung! HAHA, mau kann??”

Valen mengangguk, “yaudah deh,”

♪♫♪♫♪

“Saya ga setuju, bu!” elak Rio.

Bu Arik menatap Reno tajam, “Ga bisa di bangkang! Saya sudah capek ngurusin kamu yang ga berubah berubah ini! saya harap, dengan hadirnya Valen akan merubah kamu menjadi murid yang lebih bermoral dan BEROTAK!!” tukas Bu Arik.

“Saya masih punya moral,” bentak Reno, lalu Reno berjalan dan berhenti tepat di dekat telinga bu Arik. “Dan saya masih punya otak!” desisnya tepat di telinga. Lalu ia beranjak dari ruang ‘introgasi’ tersebut.

Sebelum Reno benar-benar beranjak dari sana, Bu Arik berbalik dan menatap punggung Reno tajam. “Tidak ada yang bisa menolak saya!” pekiknya kepada Reno.

Reno terus berjalan tanpa memperdulikan Bu Arik yang masih sibuk bergumam tak jelas.

♪♫♪♫♪

“Maaf ya Ndre, Bim, Ren, hari ini aku gak bisa ikut kalian. Aku lupa kalau aku ada acara di rumah, maaf banget,” Sesal Valen pada mereka bertiga.

Andre manggut-manggut, “Ya, gapapa kok. Mending urusin acara di rumah kamu dulu itu aja, kan jalan sama kita-kita bisa laen kali,”

“Bener kata Andre, mending urusin yang paling penting dulu, yaudah Len, hati-hati ya, tuh kakak lo udah jemput,” sahut Bima sambil mengedikkan kepalanya kearah sebuah motor di depan sekolah.

“Yap, aku duluan ya Ndre, Bim, Ren..”

Mereka bertiga hanya mengangguk lalu mengegas motor mereka masing-masing.

♪♫♪♫♪

“Kev, aku mau pindah ke Jakarta. Apa kamu mau tetep lanjutin hubungan kita?”Tanya Valen.

Kevin membulatkan matanya. “Kenapa Len? Kenapa kamu tega ninggalin aku disini?”

Valen menggeleng. “Bukan gitu, Kev. Aku harus ikut orangtua aku kesana, disini aku gak ada yang ngurusin,”

“Dengan ngorbanin hubungan kita? Kamu mau bubarin hubungan yang udah kita jalin selama 4 tahun? Apa kamu mau kita sampai disini aja?”

Valen merasa matanya mulai berselaput. Butir-butir bening mulai bersarang pada matanya. “Aku pengen lanjut, Kev. Tapi…” Valen menghela nafas, “…apa kita bisa bertahan? Apa jadinya kita kalo LDR? Kita yang hampir tiap hari ketemu aja sering banget bertengkar gara-gara masalah sepele. Apalagi LDR? Apa kam…”

“Jadi kamu gak percaya sama aku, gitu?” potong Kevin emosi. “Yaudah lah, kalau kamu emang gak mau nerusin ini semua juga gak papa. Masih banyak yang mau sama aku, kok. Okee, mulai hari ini kita udah gak ada hubungan apa-apa,” tukas Kevin lalu beranjak dari sana.

Valen tertunduk lemas mengingat kejadian seminggu yang lalu. Pemikiran Kevin salah! Kenapa dia berfikir kaya gitu?

Valen mulai menangis. Bodoh! Bodoh! Kenapa kamu masih mikirin Kevin, Len? Kenapa? Umpatnya dalam hati.

Kevin Fujiya, seorang cowok berdarah inggris-jepang yang dari kecil hidup di Indonesia adalah pacar Valen. Mereka berpacaran dari kelas 2 SMP, dan kisah cinta mereka harus kandas karena kepindahan Valen ke Surabaya ini.

“Kamu kenapa, Len?” Tanya suara yang taka sing lagi bagi Valen.

Valen menggeleng, “Gak apa-apa, mas. Cuma keinget Kevin aja,” jawabnya sambil menghapus air matanya.

Alfi Rahardika, kakak Valen menyerngit. “Ada masalah sama Kevin?”

“Aku sama dia putus mas. Abis aku bicara sama dia mengenai kepindahanku ke Surabaya. Kurasa dia lebih pilih putus daripada ngelanjutin hubungan ini. Mungkin, dia udah capek dan bosen sama aku,” tutut Valen sambil menghela nafasnya.

Alfi berdecak, “Gak dewasa banget, sih? Pemikirannya pasti dangkal! Pasti kamu di tuduh selingkuh nantinya. Tapi mending gitu sih. Toh, cowok gak Cuma Kevin aja, kan? Udah udah, ntar mas cariin cowok di Surabaya. Yang pasti lebih baik daripada si Kevin,”

Valen mengangguk. “Gimana mas, keluarganya mbak Kinan udah pada dateng?” Tanya Valen.

Alfi menggeleng, “Belum. Mungkin bentar lagi. Ah, Bunda sama Ayah emang rese, masa Mas-mu ini mau di jodohin? Aduh, mas ini belum tua-tua banget. Masih juga 20 tahun. Daripada jodohin mas, mending jodohin mbakmu itu lah, yang sampe sekarang mas yakin dia belom punya calon,”

Valen terkekeh, “Mbak Lydia gak bakalan mau di jodohin sama siapa-siapa. Kan masih mau nungguin cinta pertamanya yang gak jelas asal-usulnya itu.” Valen bangkit dari duduknya, “Udah yuk mas, kita bantuin Bunda di dapur. Kasian kalo sibuk sendiri,”

Alfi hanya mengangguk dan membututi Valen dari belakang.

♪♫♪♫♪

Reno, Andre dan Bima mendatangi Herdoe café, sebuah tempat tongkrongan yang cozy dan memang di peruntukkan untuk para remaja.

Café itu bertingkat dua, lantai bawah yang di lengkapi dengan kolam renang—yang biasanya hanya dapat di pakai oleh orang-orang penting saja, sebuah panggung kecil yang setiap hari selalu menghadirkan band-band atau penyanyi lokal kota Surabaya.

Di lantai dua, lebih bergaya seperti kedai starburst yang ada di Sutos. Setengahnya indoor dan setengahnya lagi outdoor. Lebih santai dan nyaman.

Mungkin tidak bisa di katakan café, karena besarnya café ini menyerupai restoran. Tapi memang itulah kelebihan café tersebut. Benar-benar nyaman dan membuat Reno seringkali lupa waktu. Para pelayan disana juga baik dan ramah. Itu yang membuat Reno memberi 8 poin untuk café ini.

“Eeh ada Mas Reno dan kawan-kawan,” sapa Fio, salah seorang karyawan yang sudah hafal betul pada ketiga orang tersebut.

“Iya, mbak Fi,” Andre terkekeh. “Mbak Shinta kemana? Kangen sama masakannya nih aku,”

“Shinta? Dia lagi sibuk ngurusin orang-orang yang lainnya Mas.” Jawab Fio.

Bima menjitak Andre, “Kangen masakannya apa kangen orangnya??”

“Masakannya lah!!” elaknya. Tapi dari kelakuannya, sudah di pastikan kalau Andre kini tengah salah tingkah.

Reno berdehem, “Pesen kaya biasa, ya Fi. Di tempat biasa,”

Fio mengangguk lalu beranjak kearah dapur. Reno dan kawan-kawan naik ke lantai atas dan menempati salah satu meja outdoor. Bima mengeluarkan sebatang rokok dari sakunya dan menyodorkan pada Reno.

“Gak, Bim. Gue lagi males,” tolak Reno.

Bima mengangkat bahu lalu memasukkan kembali rokoknya.

“Gimana masalah les privat itu, Ren?” Tanya Andre.

“Udah gue bilang ke guru gila itu kalo gue gak butuh les privat dari siapapun. Malah dia bilang gue gak bermoral dan gak punya otak. Yang gak punya moral sama otak itu dia, kali! Bukan gue. Dih, mana lesnya sama Valen lagi,”

“Terus kenapa kalo sama Valen? Bukannya bagus? Lagian Valen baik, kok. Ya gak Ndre?” Bima yang baru saja di ceritakan oleh Andre saat perjalanan menuju café perihal masalah les privat Reno dan Valen menganggap bahwa Reno egois. “Lagi pula, ini juga buat kebaikan elo, tau. Bu Arik bilang gitu, Cuma pengen elo nurutin kemauannya dia aja. Lagian, apa dia berani sama elo? Gak, kan?”

Reno mengangkat bahu. Tak lama kemudian, terdengar lantunan lagu Muse-Hysteria dari ponsel Reno.

“Ya, hallo?” Reno menyipitkan matanya. “Ya, Pa? oh, masalah itu? Udah Reno bilang Reno gak mau… hah?? Gak, pokoknya Reno gak mau! Loh, kenapa nyangkut ke mama? Hhhhhzzz, Oke, fine. Reno turutin maunya papa!”

Klik. Sambungan telfon terputus. Andre dan Bima menatap Reno, mengharapkan penjelasan.

“Bokap udah di hubungin sama pihak sekolah tentang rencananya guru gila itu! Dan dia ngancem, bakal ngomong ke nyokap gue kalo gue gak mau nurutin itu guru! Ohh damn,” umpat Reno kesal.

“Sabar, bray. Udah, turutin aja maunya tuh guru. Kalo bisa, lo harus buktiin kalo elo bisa. Ini tantangan, Ren!”

Andre mengangguk-angguk. “Bener kata Bima. Ini tantangan, Ren! Mana Reno yang aku kenal? Reno gak takut tantangan, kan? Terima aja,”

“Oke, let see,” gumam Reno.

“Hallo mas-mas yang ganteng, gimana kabarnyaaa, lama yaa gak ketemu,” pekik Shinta sambil membawakan beberapa makanan dan minuman yang telah di pesan Reno dan kawan-kawan itu.

“Baik mbak Shintaaa, mbak Shintanya sendiri gimana??” Tanya Andre semangat sambil tersenyum manis.

“Cih, sok manis,” cibir Bima.

Reno terkekeh. Sedangkan Andre sibuk berbicara dengan Mbak Shinta.

♪♫♪♫♪

Mademoiselle Eri menggebrak meja, “Apa-apaan kalian?? Meremehkan pelajaran saya, iya??” bentak mademoiselle Eri keras-keras.

Andre dan Bima menunduk, sedangkan Reno masih menatap mademoiselle Eri tanpa ekspresi. Datar.

“Kalian sudah 3 kali mendapat nilai 6 dalam pelajaran bahasa Perancis saya. Kurang apa saya mengajari kalian? Ya Tuhan, jangan-jangan, kalian juga tak bisa melafalkan abjad-abjad logat Perancis yang awal semester lalu saya ajarkan? Benar begitu?”

“Ya,” jawab Reno. Andre dan Bima menatap Reno sambil menyerngit. Jangan lagi, jangan! Batin mereka.

“Reno! Kalau memang kamu tidak suka pelajaran saya, kenapa gak dari dulu saja kamu keluar??”

Reno berdecak. “Hm, mademoiselle mau saya keluar? Oke, saya akan keluar.” Reno beranjak dari kelas dengan santainya.

“Demi Tuhan, saya belum pernah bertemu dengan anak seperti dia,” gumam Mademoiselle Eri kesal. Tatapannya beralih pada kedua murid di depannya itu. “Kalian berdua! Jangan tiru dia! Dia benar-benar dapat berpengaruh buruk untuk kalian. Kalian tidak saya hukum karena kalian masih tergolong murid yang rajin. Oke, kalian boleh pergi dari ruangan saya,”

Andre dan Bima diam-diam menghembuskan nafas lega dan beranjak dari ruangan mademoiselle Eri.

“Tuh anak bikin spot jantung aja, sih. Untung aja kita gak kena semprot emosinya. Gak kena hukuman apa-apa. Kalo kita sampe kena, urrrgh gue bener-bener gak akan mau lagi berhubungan sama Reno,” keluh Bima.

Andre menyerngit, “Kamu kenapa sih Bim? Kok perasaanku, dari kemaren-kemaren kamu tuh beda. Ada masalah sama Reno? Kenapa sampe segitunya? Dari cara kamu ngomongin Reno tuh, hmm, gimana ya. Beda pokoknya. Gak kaya dulu. Bukannya dari dulu kita tuh all for one and one for all, ya?”

“Ya, bu-bukannya gitu. Ta-tapi, ya… gue kesel aja sama Reno,” gugup Bima. “Dia selalu egois. Nurutin kemauannya sendiri tanpa mikirin kita,”

Andre hendak berkomentar, tapi ia urungkan karena tiba-tiba Reno muncul dari belakang dan langsung merangkul Andre dan Bima. “Yuk ke kantin, gue laper banget. Gara-gara mademoiselle yang kaku itu perut gue jadi laper.” Kata Reno.

“Gak, gue mau balik. Kalian bardua aja, gue duluan ya,” pamit Bima langsung neloyor pergi.

“Tuh anak kenapa, sih? Tumben-tumbenan kaya gitu,” tanya Reno sambil memandang punggung Bima yang makin menjauh dengan heran.

Andre mengangkat bahu, “Mungkin ada masalah,” gumam Andre sambil menerawang. Dalam hati, Andre juga bertanya-tanya. Kenapa Bima? Kenapa dia terkesan selalu menghindar? Kenapa dia menatap Reno dengan tatapan jengkel?

♪♫♪♫♪

Alfi mendengus kesal. Kinan tak seperti yang ia bayangkan. Kebanyakan, cewek-cewek yang bernama Kinan itu kulitnya kuning langsat, tinggi, berambut panjang hitam lurus, cantik dan manis. Tapi ini?

Alfi bergidik ngeri membayangkan Kinan. Pendek, item, kucel, pake kacamata tebel banget, rambut kepang dua, gigi berkawat. Aaaaah, jauh banget dari bayangannya!

Valen menepuk bahu Alfi. “Yang sabar, ya. Hihi,” Valen meringis sambil mengacungkan jari tengah dan telunjuknya.

Alfi mendengus. Lagi. Ya Tuhan, malang sekali nasipku? Batinnya sarkatis. “Aku… bener-bener kecewa,” lirih Alfi.

Valen langsung mengubah raut wajahnya. “Kecewa kenapa, mas?” tanyanya hati-hati.

“Aku…” Alfi menunduk dalam-dalam, menahan air mata yang menggenang di pelupuk matanya. “… Harusnya aku nungguin Anggun. Harusnya aku gak pernah nyoba selingkuh. Harusnya aku gak pindah kesini. Harusnya, harusnya…”

Valen merengkuh kakak laki-lakinya itu. Ia mengerti. Mengerti sekali. Penderitaan yang di alami oleh kakak laki-lakinya ini. singkat cerita, Alfi adalah seorang mahasiswa jurusan ekonomi di salah satu universitas terkenal di Surabaya. sebelumnya dia tinggal di Semarang, bersama keluarganya, juga pacarnya, Anggun.

Tapi, Anggun memutuskan untuk berkuliah di Jogja, tinggal bersama mama dan kakaknya. Alfi pun di minta Anggun untuk menunggu sampai Anggun menyelesaikan kuliahnya. Dan Alfi setuju.

Awalnya sih, Alfi oke-oke saja dengan keputusan itu. Lalu, ia pindah ke Surabaya. Dia memperoleh beasiswa disana. Dia langsung mengabari hal itu pada Anggun. Anggun sangat mendukung Alfi. Tapi, di bulan-bulan pertamanya kuliah, Alfi telah mendapat cobaan. Dia menyukai salah satu teman kampusnya. Echa namanya.

Dari situlah, kesetiaan Alfi di uji. Alfi memiliki wajah yang lumayan. Yaaa, setidaknya mampu memikat hampir semua teman seangkatannya. Alfi yang tau bahwa Echa menyukainya pun akhirnya menyatakan cinta pada Echa. Dan Echa menerimanya. Berpacaranlah mereka selama 2 bulan.

Tiba-tiba Anggun datang ke Surabaya. Berniat memberikan kejutan. Tapi, malah sakit hati yang ia terima. Ia melihat Alfi berdua-duaan dengan Echa, mesra sekali. Tanpa babibu, dia langsung menghampiri Alfi dan mengucapkan kata putus di depannya. Di depan Echa juga.

Saat itu lah, Alfi merasa bahwa dia tak mencintai Echa sepenuh hati. Ia lebih mencintai Anggun. Dan sejak saat itu, Alfi tidak pernah mau berpacaran dengan siapapun. Alfi hanya menunggu Anggun. Menunggu Anggun untuk memaafkannya. Menunggu Anggun untuk kembali menata hatinya.

Hehehehee gajelas ya?? lama banget lagi.. huhuh :P tapi yasudahlah...:D

L n C jangan lupaa a:D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar