Kamis, 30 Juni 2011

Almost Soulmate -Part 4-

Jelek ya nih cerita?? Ah biarin aja, hihih :D suka suka saya donk yang buat cerita kok pembaca yang repot sih? Wakakakaa=))

Daaan… ini cerbung sayaaa!! Siapa aja tokohnya boleh dooong wkkwkw :p sumpah deh, random banget ini tokohnya! Wkwkwkwk. Yang namanya aku pake, MINTA MAAF SEBESAR BESARNYA YAAH ({}) muaah :** wkaowkaokwoa

Udah ah jangan kebanyakan bacot. Selamat menikmati (:

**

Hari ini, adalah hari pertama Ify masuk sekolah barunya. Namanya School of Sindunata Art. Sebuah sekolah entertainer milik S-Entertaiment. Di bawah naungan sang kepala sekolah kepercayaan keluarga Sindunata, yaitu Zahra Damariva, seorang kepala sekolah yang lumayan masih muda, tapi sudah mengantongi gelar doktor. Zahra juga sangat dekat dengan keluarga Alvin, jadi ia tak canggung lagi jika harus berurusan dengan keluarga Sindunata itu.

Mau tak mau, bisa tak bisa, punya tak punya, sanggup tak sanggup, semua yang masuk ke dalam naungan S-Entertaiment HARUS dan WAJIB pindah ke SOSA (School of Sindunata Art). Masalah biaya, akan di tanggung sepenuhnya oleh S-Entertaiment. Itu juga yang di jalani Ify. Ify langsung masuk ke class C, alias kelas XII. Dia masuk jurusan musik. Bersama Rio dan anak-anak SIB.

Pagi ini, dengan mengenakan blazer warna abu-abu, dengan seragam warna putih, dan rok yang senada dengan blazernya, tak lupa sebuah tanda pengenal—namanya, yang ia pasang di blazer sebelah kanan, lalu kaos kaki putih selutut juga sepatu sneakers warna hitam yang benar-benar cocok untuk Ify. Walaupun Ify berasal dari desa, tapi gayanya—menurutnya—ga norak, kok.

Setelah selesai berbenah diri, ia berdiri di depan cermin. Mengamati lekat-lekat penampilannya hari ini.

“bagus kok” gumamnya sendiri. Lalu ia menyambar tas ransel bermerk EIGER warna hitam yang telah ia siapkan dari semalam. Lalu ia beranjak dari kamar.

Rio yang menunggu di meja makan, dengan kemeja putih di tekuk se-lengan, lalu blazer abu-abu yang di padu dengan dasi warna hitam membuatnya tampak sangat keren. Tatanan rambut yang acak-acakan tapi juga terlihat rapi menambah kesan sangat keren pada penampilannya pagi ini. rio sedang melahap rotinya ketika Ify datang dengan sangat rapi.

Ify tampak terkesima dengan penampilan Rio. Timbul suatu perasaan aneh di tubuhnya. Seperti…rasanya ada sesuatu dalam diri Rio yang mau tak mau membuat Ify tak bisa mengalihkan tatapannya dari wajah Rio yang manis itu.

“kok bengong? Sarapan gih, abis itu kita langsung ke sekolah” kata Rio tanpa menoleh sedikitpun pada Ify.

Ify tersadar dari lamunannya. “oh, iya” dia lalu duduk di samping Rio.

Tak lama kemudian, Debo keluar dari kamar mengenakan seragam yang berbeda. Karena dia hanya punya saudara Ify di Jakarta, Rio sempat mengajukan Debo pada Alvin untuk di perbolehkan satu sekolah dengan mereka di SOSA. Alvin pun mengiyakan usul Rio. Debo tak mengambil jurusan musik, dia mengambil jurusan teater, karena sewaktu di panti, dia sering di ikutkan lomba teater antar kampung.

Debo tampak keren dengan blazer biru dan kemeja putih. Lalu celana putih dan sepatu vans putih yang ia beli kemarin dengan Deva. Akhir-akhir ini, Debo dan Deva tampak sangat dekat. Kemana-mana selau berdua, Deva mengajarkan Debo bahasa-bahasa gaul. Melatihnya jadi anak gaul. Tapi walaupun gaul, Debo berprinsip bahwa sifatnya yang dulu tak akan pernah hilang walaupun semakin lama semakin terkamuflase oleh pergaulan kota Jakarta ini.

Tanpa menyapa Rio dan Ify, Debo langsung nyelonong pergi sambil setengah berteriak “aku bareng Deva ya, berangkat dulu, assalamualaikum..!!”

SOSA. SOSA setara dengan bangku SMU juga bangku kuliah. Tergantung level yang telah siswa capai. Misalnya A, A itu kelas X. B itu kelas XI. C itu kelas XII. D itu semester 1 dan seterusnya. Debo, yang seumuran dengan Deva dan Alvin telah mencapai level D dalam bagian teater. Karena sebelum masuk sekolah, bagi siswa siswi yang bukan bernaung di S-Entertaiment, ada sebuah penge-tes-an praktek maupun tulis. Dan ia langsung lolos di level D.

“waalaikum salam” jawab Ify.

Terdengar bunyi tap tap tap yang sangat tergesa-gesa yang bisa di pastikan adalah derap langkah Debo yang di percepat. Rio hanya geleng-geleng kepala sambil menyeringai.

“bilang tuh sama Debo, jangan terlalu deket sama Deva, soalnya…”

Ify memandang Rio yang tak kunjung melanjutkan omongannya. “soalnya kenapa mas?”

“dia ga Cuma doyan sama cewek, cowok juga dia doyan!” Rio terkikik.

Ify melongo “hah? Emang iya??”

Tawa Rio meledak. Melihat perubahan ekspresi Ify. “engga kok canda. Udah sarapannya? Berangkat sekarang ya, gue tunggu di luar” ajak Rio lalu ia bangkit mendahului Ify.

Dalam hati Ify kecewa, “kenapa sih dia secuek itu?” gumam Ify.

Hey, tunggu, sejak kapan Ify jadi peduli sama Rio? Ify menggeleng keras. Gak! Gak! Lalu ia langsung menyusul Rio yang sudah lebih dulu menunggunya di lantai bawah.

**

Pagi ini Sivia tak bergeming dari tempatnya duduk sekarang. Taman sekolah. tatapannya kosong. Memori otaknya sibuk memutar kejadian tadi malam. Dimana ia sama sekali tak menyangka bahwa secepat itu ia harus mengetahui sebuah kejujuran dari seseorang. Sungguh! Dia masih syok atas kejadian semalam, yang sangat tak ia sangka dan ia duga.

*****flashback on*****

Sivia mencabik-cabik gulingnya. Membayangkan, bahwa yang ia cabik-cabik adalah Rio. Lelaki yang telah menyakiti hatinya. Pangeran Es nya itu tak kunjung juga membuka hatinya untuk nya. Ia yang lama kelamaan merasa jengah dan capek untuk bertahan hanya bisa menangis. Hatinya terasa sangat sakit.

Tok tok tok

Ketukan pintu memaksanya untuk bangkit dari kasurnya. Ia mendapati Alvin—yang seperti biasanya—akan menghiburnya ketika ia sedang di dera kegalauan karena pangeran esnya tersebut.

“elo nangis lagi?” Tanya Alvin sambil menyeka air mata Sivia.

Sivia menepisnya dengan halus “gue ga papa kok Vin”

“Gapapa apanya?? Mata lo bengkak, Siviaaaa”

“udah gue bilang gue gapapa ya gapapa Vin!!” bentak Sivia sambil terisak.

Alvin langsung menarik Sivia dalam pelukannya “kenapa sih lo selalu harepin Rio? Kenapa sih lo rela bertahan demi dia? Kenapa Siv? Kenapa?” Suara Alvin mulai tercekat di tenggorokan.

Sivia masih terisak di dalam dekapan Alvin. Tanpa membalas pelukan Alvin, ia masih tetap menangis. Tangannya terkurung dalam pelukan Alvin.

“kenapa lo ga pernah menoleh kea rah lain Siv? Kearah seseorang yang nungguin elo dari lama, seseorang yang rela terluka demi ngeliat lo bahagia sama cowok-cowok pilihan lo? Seseorang yang selalu nahan sakitnya di depan lo saat elo ngebangga-banggain cowok-cowok yang elo suka didepan dia?”

Sivia yang mulai janggal dengan omongan Alvin pun mendongak. Ia menatap Alvin, Alvin juga membalas tatapannya. “apa maksud lo, Vin?”

Alvin menghela nafas, “apa kurang cukup semua pengorbanan gue, SIv? Apa gue ga pantes buat elo? Apa,… apa… apa elo ga ada sedikitpun rasa buat gue??” Tanya Alvin lirih .

Sivia merenggangkan pelukan Alvin. Ia melangkah mundur perlahan “apa maksud lo, Alvin??” tanyanya lagi.

“gue sayang elo Sivia… gue gak mau elo ngarepin Rio lagi! Disini! Didepan lo! Ada gue! Gue yang selalu ada saat lo butuh, gue yang selalu siap denger curhatan lo kapan aja, gue yang udah terlalu banyak berkorban buat elo! Apa iya lo sama sekali gak ngehargain gue??” Alvin meletakkan kedua tangannya di bahu Sivia, lalu menggoyang-goyangkannya perlahan. Emosinya meluap, tapi ia mencoba tetap tenang.

Sivia menggeleng keras “gak Vin! Bilang! Bilang sama gue elo Cuma bercanda! Bilang sama gue, kalo lo gak bener-bener ngelakuin itu semua Vin. Bilang!” bentak Sivia.

Alvin duduk di ranjang Sivia, lalu merebahkan tubuhnya perlahan, “gue… gak akan… bilang engga… kalo emang kayak gitu… adanya…” ucapnya tercekat.

Entah dapat keberanian dari mana, Alvin mengatakan itu semua di depan Sivia, setelah sekian tahun berharap yang tak pasti, setelah sekian tahun hanya memendam tanpa berani mengungkapkannya.

“gue… pengen lo jadi yang pertama dan terakhir buat gue… Sivia Azizah” kata Alvin serius, sambil mendudukkan kembali tubuhnya.

Sivia menggeleng lagi “gue butuh waktu! Gue mau sendiri! Lo pergi Vin! Sekarang! Lo pergiii…!!!” teriak Sivia

Alvin langsung beranjak dari duduknya, sambil membentuk tanda stop di kedua tangannya, “oke, oke! Calm down, Siv. Gue akan nungguin lo, sampe kapanpun, karena cinta gue ke elo gak aakan pernah mati! Gue balik, ya. Gue harap, lo bisa jawab IYA buat pertanyaan gue tadi.” Tak lama kemudian Alvin tersenyum lalu menghilang di balik pintu.

Sivia dilemma. Ia bingung. Dia sudah menganggap Alvin sebagai kakaknya. Dan perasaannya pada Rio tak secepat itu bisa ia hilangkan. Ah, dia benar benar galau malam ini.

*****flashback off*****

“Hayo lo! Ngelamunin apa?” Tanya Nova,teman sekelas Sivia.

Sivia menggeleng “ga ngelamun kok, eh udah masuk ya? Ke kelas dulu yuk” Sivia langsung beranjak dari duduknya dengan fikiran yang masih galau.

**

Deva dan Debo sibuk tertawa di dalam kelas teater mereka. Entah pembicaraan seru apa yang sedang mereka lalui berdua(?) sehingga mengabaikan anak-anak D-TE-2 (D Teater 2) #kelas mereka# yang memandang mereka berdua dengan tatapan tuh-anak-waras-ga-sih?

“guue suka gaya lo” ucap Debo kaku yang mengundang tawa renyah dari Deva

“bhahahhaa,, ngakak. Lucu banget sih? Logat jawa lo kental banget tau ga! Gue aja yang dari bali gak gitu-gitu amat! Hahahaha.”

“yeee, kamu kan,, eh salah, elo kan udah lama di Jakarta,, lah guee??” Ujar Debo dengan logat jawa yang menggelikan.

“wkwkkwwkwk, makin ngakak gue denger suara lo! Hahahaha”

Debo memanyunkan bibirnya “udah ah udah! Kamu iku,, aku kan serius! Kok di guyu terus, tho? Aku kan bener-bener pengen belajar gaul gitu” kata Debo dengan watadosnya.

“hihihi,, iya deh gue ajarin. Pasti kok!”

Alvin, dengan muka kusut mendatangi mereka berdua, “kalian serius amat? Ngomongin apa sih?”

Deva menoleh “eh elo Vin! Sini duduk dulu!” kata Deva sambil menepuk-nepuk bangku di sebelahnya.

Alvin pun duduk di sebelah Deva. “ini nih, si Debo, gue ajarin jadi anak gaul Jakarta mameeent”

Debo nyengir ga jelas. Alvin Cuma manggut-manggut.

“eh, muka lo kenapa bro? gitu amat? Mau gue setrika?? Hehehe” Deva terkekeh

“gue…” Alvin menghembuskan nafasnya pelan “abis ungkapin semua perasaan gue sama Sivia, Dev” tatapan mata Alvin menerawang keluar jendela kelas.

“terus terus???” Deva antusias bertanya. Sedangkan Debo hanya mendengarkan dan menyimak dengan baik

“dia minta waktu,,”

“pasti alesannya Rio??” tebak Deva

Alvin mengangkat bahu.

Alvin Deva Rio. Perbedaan umur mereka bertiga tak jauh. Alvin yang baru 20 tahun, Deva 19 tahun dan Rio 17 tahun membuat mereka membuat sebuah genk yang namanya 3SEnt. 3 Sindunata entertainment kepanjangannya. Keprofesionalan di kantor-lah yang membuat Alvin Deva dan Rio kelihatannya tak akrab. Padahal di luar kantor, mereka sangatlah akrab.

“Rio ga suka Sivia, Vin! Inget… Rio gak akan makan temen sendiri, apalagi elo! Walaupun Rio yang paling labil, tapi Rio gak akan ngehianati persahabatan kita. Lo pegang kata-kata gue. Rio sampe sekarang Cuma ngeharepin temen masa kecilnya, tau!!” kata Deva

Debo menoleh “temen masa kecilnya?” alisnya bertaut

Deva mengangguk “yeepp,, dia punya temen kecil waktu dia tinggal sama nenek kakeknya di sebuah desa, 2 tahun sih, waktu kelas 5 SD gitu katanya.. ehh,, tau deh. Kagak tau kagak tau. Lupa gue” kata Deva sambil mengangkat bahunya.

Debo tertohok. Rio…..= Stef???? Pertanyaan itu terus berkecamuk di otak Debo. Apa iya sih Rio itu Stef? Tapi kenapa Rio gak pernah mengungkit masalalunya? Kenapa ia tak mengenali ku dan Ify? Tanya debo dalam hati.

**

“hari pertama masuk SOSA! Yeeeyy!!” sorak Zeva senang.

Gabriel terkekeh “jangan kaya orang udik dong Ze, hihihihi”

Sebuah jitakan mendarat di kepala Gabriel “apa lo kata?? Gue ga udik tau! Gue takjub aja, ini kan impian terbesar gueeee!!!” katanya histeris

Ray berdecak “please deh, lebay ah” cibirnya lalu mendahului teman-temannya masuk ke dalam kelas musik yang telah di sediakan.

Cakka, ZEva dan Gabriel masih asyik berjalan-jalan sambil mengoceh kesana kemari.

Ray berada di dalam kelas. Dilihatnya Rio dan Ify yang sudah datang duluan. “hey yo!” sapanya.

Rio menoleh dan tersenyum tipis sambil mengangkat satu tangannya, melambaikannya pada Ray dan mengisyaratkan Ray untuk bergabung dengannya dan Ify.

Ray pun duduk di sebelah Rio.

“sendirian aja, Ray?” Tanya Rio

Ray mengangguk “anak-anak masih muter-muter SOSA, tuh!!”

“oiya, kenalin ini Ify, dia anak baru di S-Entertaiment, senior elo sehari.. hehehehe”

Ray tersenyum manis kea rah Ify “hei, gue Ray” sambil mengulurkan tangannya

Ify menjabat tangan Ray “aku Ify, salam kenal”

“ya,, salam kenal juga” Ray beralih pada Rio “eh Yo, kita jadi rekaman besok ato hari ini? katanya kita ngebut bikin single?”

Rio mengangguk-angguk “gue kurang tau, Ray. Soalnya Alvin juga sibuk tuh,, ntar deh gue tanyain kalo istirahat”

Ray meringis, “oh ya, Fy, gue kok kaya pernah ketemu elo ya??” Ray mengamati wajah Ify

Ify mengangkat bahu “oh ya? Kok gak pernah inget ya,, hehehhee”

“ah sudahlah lupakan! Eh Fy, bisa maaen alat music apaan??” Tanya Ray

Ify menggeleng “ga bisa apa-apa..”

Rio menyerngit “loh? Bukannya lo bisa maen keyboard ya? Bukannya dulu di panti elo tuh keyboardist di tiap acara nikahan gitu??”

Ify melongo “loh,, kok tau?”

Rio meringis, “apasih yang Rio gak tau,, ckckck”

Ify menyerngit, lalu menoleh kea rah Ray yang menatapnya antusias “boongan kok hehe”

“heeey! Kenapa gak lo coba aja maen? Gue penasaran nih” pinta Ray memohon.

Ify menggeleng “enggak ah, aku gak bisa… mas Rio ngarang tuh! Jangan percaya. Masa percaya sama mas Rio yang tukang boong? Huh”

“suer! Kenapa gue kudu boong? Udah ayooo kita ke ruang musik!” Rio menyeret lengan Ify. Ify mencoba menolak tapi tak kuat menahan cengkraman Rio yang lebih kokoh. Ray mengikuti mereka berdua keruang musikk.

**

Ashilla Zahrantiara, begitulah identitas yang terletak di blazer ungu nya. Biasa di panggil Shilla.

Nuraga International High School (NISH) yang berhadapan dengan SOSA, Nuraga adalah musuh bebuyutan dari SOSA n S-Entertaiment. Setelah Nuraga memberikan hampir ¾ saham mereka di sebuah stasiun TV swasta, yang namanya pun sampai dig anti dengan NRG Channel. Sebuah channel yang berisi dengan actor, aktris, penyanyi, musisi, model dan lain-lain di NRG-Ent. Tunggul Dhewa Nuraga, sang pemilik NRG-Ent itu terkenal licik dan sangat gila harta.

“Shill!” panggil Riko, sepupu Shilla yang kebetulan satu sekolah dengannya.

Shilla menoleh, dan tersenyum saat mendapati Riko telah duduk di sebelahnya. “ada apa, Ko?”

Riko berdehem sebentar, sekedar baasa-basi “gapapa. Elo…di tolak sama Sindunata??” Tanya Riko.

Shilla membulatkan matanya lalu menunduk “gitu deh. Dan kayaknya orang-orang Sindunata itu udah tau, gue masuk kesana buat mata-matain mereka. Ahhh, udah deh gak usah di bahas. Tumben nih, Ko?”

“gue ada kabar bagus!! Salah satu dari NRG-Ent, bahkan anak Om Gub, bisa masuk di Sindunata!! Hebat gak tuh??!” kata Riko dengan semangat.

“oh yA?? Masa Ko? Siapa???”

Riko mengerling nakal “pasti entar lo tau. Temenin gue ke kantin yuk Shill. Laper nih. Lo gak kasian sama sodara lo ini kalo tiba-tiba pingsan gitu?? Ntar gue erita di kantin deh!”

“oh ayo deh” mereka berdua pun pergi ke kantin.

**

Seminggu kemudian…

“assalamualaikum ibu…”

“waalaikum salam,.. debo?? Ah, piye kabare, le?” (ah, gimana kabarnya?)

Debo, dari ujung telfon tersenyum “apik-apik, buk. Ibuk sendiri di panti gimana?? Sehat kan??”

“he’eh Le, ibuk sehat disini. Icha gimana kabare? Udah jadi penyanyi belum? Disini jarang nonton TV, lagian ibuk juga sibuk ngurus adek-adek kamu disini” tutur ibuk panjang lebar

“oh, gitu toh. Udah, buk. Icha udah terkenal sekarang. Ini hari pertama Debo sekolah di Jakarta sama Icha, buk. Hmmm, doakan ya buk, biar rezeki Icha di Jakarta di lancarkan dan gak ada halangan sama sekali ketemu sama Stef.”

“amin, Le. Amin. Oiya, beberapa hari yang lalu, ada yang mau angkat kamu jadi anak Lho… orang Jakarta juga!! Terus, ibuk bilang aja, kamu juga lagi di Jakarta! Ibuk kan gak punya nomermu, jadi gak bisa hubungin kamu, ato Icha. Jadi ibuk bilang bakalan hubungin keluarga orang yang mau angkat kamu jadi anak itu, kalo kamu udah hubungin ibuk. Kamu mau?”

Sejenak Debo berfikir.. “ehmmm…” lalu sebuah senyuman mengembang di wajahnya “Debo mau, buk! Nanti ibuk kasih nomernya Debo ke mereka, yah. Debo juga gak enak sama Rio, kalo terus-terusan numpang di rumahnya”

“Alhamdulillah kalo kamu mau, Le… yasudah, ibuk nanti akan hubungin keluarga itu. Oiya, kemarin Osa sakit, lho. Katanya kangen sama kamu sama Icha. Kamu….kapan ada rencana balik ke sini?”

“belum tau, buk. Insyaallah kalo Icha udah ketemu sama siapa yang nyuruh dirinya ke Jakarta. Debo yakin, selain ketemu sama Stef, ICha pasti juga ketemu sama orangtua kandungnya kok!! Jadi ibuk tenang aja! Debo mau bantuin Icha kok buk!”

“yasudah kalo begitu. Telfonnya di lanjutin nanti aja ya Le?? Si Acha lagi keluar, jadi gak ada yang jagain adek-adek kamu yang lainnya.”

“iya, buk. Salam sama semuanya ya, dari aku sama Icha. Assalamualaikum”

“waalaikum salam”

Tut-tut-tut. Telfon tertutup.

**

Seseorang bertubuh jakung dan chubby, dengan kulitnya yang putih itu sedang berdiri sambil menerima telfon, seulas senyum sinis tersungging di wajahnya.

“iya, gue tau kok apa tugas gue. Iya iya, nyante aja, gue ga bakal jadi penghianat! Oke, tunggu aja tanggal mainnya”

Ia mematikan handphonenya. Lalu berdecak. “liat aja, siapa yang akan menang”. Lalu ia berlalu darisana.

**

“dapet keluarga baru??” pekik iFy saat Debo bercerita padanya.

Debo mengangguk “iya Fy! Alhamdulillah.kan? ntar kalo aku udah pindah dari rumah ini, aku bakal ngeringanin bebannya Rio. Aku kan juga sungkan sama dia. Ga enak gitu, numpang dirumahnya.”

Ify manggut manggut “iyawes mas, gapapa kok. Pokoknya tetep kontak kontakan sama Ify lho??”

Debo mengangguk, “iya, pasti! Oh ya, Rio mana? Aku mau pamit sekarang. Mau kerumah orangtua angkatku”

“cepete?? Kok sekarang mas??”

“lebih cepat lebih baik, Fy. Gak enak ngerepotin Rio”

“yaudah, dia di dapur, mas. Lagi bikin omelette”

Debo mengangguk lalu beranjak dari kamar Ify.

“Rio…” panggulnya.

“eh, ada apaan Deb? Oya, mau omelette??”

“udah, ga usah, aku Cuma mau pamitan”

“pamitan??” Rio mematikan kompornya “mau kemana emangnya??”

“aku dapet orangtua angkat disini, Rio. Jadinya aku ikut mereka. Itung itung ringanin beban kamu nampung orang lah, hehehe”

“lah kok gitu??”

“gak tau, ibu panti ku di desa bilang gitu. Kan gak ngerepotin kamu lagi jadinya. Hehehe. Aku berangkat sekarang, Yo. Makasih udah nampung aku, yoo. Hehehee”

“yeah, ati ati ya, gue pasti bakalan kangen elo” ujar Rio sambil menepuk nepuk bahu Debo.

Debo tersenyum lalu mengangguk. “IFY!!” panggilnya. Ify pun keluar dari kamar. “aku pamit dulu, ya?? Jaga diri, kalo Rio macem macem tinggal telfon aku aja! Oke”

Ify mengangguk lalu memeluk Debo “mas juga ya? Ojo macem macem lho”

“haha yo gak lah! Yaudah, aku ke pergi ya??”

“mau di anter sampe lobby?” tawar Rio

Debo menggeleng “ga usah lah, aku bisa kok. Yaudah, assalamualaikum”

“waalaikumsalam”

Pintu di tutup. Keheningan sesaat di apartement Rio. Sampai sebuah deheman kecil membuyarkan keheningan tersebut.

“Eh Fy, hari ini lo siap-siap ya, kita mau ada rekaman. Nih, ada lirikk lagu yang perlu lo hafal. Nadanya nyusul, yang penting lo hafal liriknya dulu,” Rio menyerahkan selembar kertas berisi lirik lagu yang berjudul ‘Manusia bahagia’ (Dipopulerkan oleh Mahaghita).

Ify mengambil kertas itu lalu mulai membacanya dan menghafalnya. Rio manggut-manggut sambil berjalan masuk ke dalam kamarnya.

**

Debo di antar taksi sampai kesebuah perumahan berumah megah dan besar-besar. Debo sendiri menganga. Ini perumahan paling keren yang pernah di lihatnya! Lebih keren daripada kawasan elite apartement Rio. Nama perumahan itu adalah SISTINE.

Taksi itu mulai masuk. Deret rumah bertingkah lebih dari dua itu sangatlah megah. Ada yang berbentuk minimalis, tapi tetap elegan. Ada yang bernuansa eropa. Ada yang seperti rumah padang #plak #ngaco. Ada yang bernuansa jepang., dll.

Taksi terus melaju. Belom sirna keterpanaan Debo, tiba-tiba taksi itu berhenti. Di sebuah rumah berpagar hitam dan bertembok bata krem.

“Mas, sudah sampai,” ujar sopir taksi tersebut.

Debo tersadar, “Eh, iya pak. Terimakasih,” sambil mengeluarkan uang pas dari sakunya. Debo keluar dan masih setengah sadar sudah berada di depan rumah yang nantinya akan menjadi keluarganya!

Rumah itu besar sekali. Penuh dengan bunga beraneka jenis dan warna. Tertata rapi, dan penempatannya juga sempurna! Berdomisili bunga matahari yang sangat banyak. Gerbangnya bergaya Yunani klasik, dengan dua patung laki-laki.

Mulut Debo menganga. Dia merasa benar-benar seperti orang udik sekarang. Waaaah…

“Aduh, ga ada belnya ya?” gumamnya sendiri.

Tak lama setelah itu, ia mendapati ada post satpam di depan rumah itu. Lebih ke sisi kanan. Lalu ia berjalan kesana.

“Pak, apa betul ini rumah Pak Julian?” Tanya Debo ragu.

Satpam itu mengangguk. “Iya? Siapa ya?”

“Saya Debo, pak”

Satpam itu ber-ohh ria. Namun sejurus kemudian ia membungkukkan badannya. Memberi hormat. “Maaf maaf, saya baru ngeh. Ehm, baiklah tuan Debo, saya antar anda masuk.” Ujar sang satpam.

Debo menyerngit. TUAN? HAHA! Lucu sekali. Ia mengikuti sang satpam masuk ke dalam rumah.

Lagi-lagi Debo ternganga. Di dalam rumah terdapat patung-patung, lukisan, ukiran, yahhhh…pokoknya seperti galeri seni! Debo menyimpulkan, bahwa pemilik rumah ini adalah pengagum karya seni kuno. Rumahnya terlihat sepi dan Debo begitu kecil—yaah, saking besarnya rumah itu. Tangga yang melingkar tak jauh dari ruang tamu yang—lagi-lagi—bernuansa seperti jaman Yunani kuno tersebut.

“SIni den, tasnya saya bawakan” kata satpam tersebut.

Debo mengangguk-angguk dan memberikan tasnya pada satpam.

“Selamat datang, Debo Andryos,” ucap seseorang di belakang Debo.

Debo terlonjak kaget. Suara itu menggema di ruang tamu itu. Buru-buru ia menoleh ke belakang. “I..ya..” jawabnya masih dengan dada bergemuruh karena kaget.

“Saya Julian,” ucapnya tegas dan berwibawa. “Mulai hari ini, ini adalah rumah kamu. Dan keluarga saya adalah keluarga kamu juga,”

Debo mengangguk sambil tersenyum kikuk. Lalu menjabat tangan ‘ayah’ barunya tersebut.

“Baiklah, saya perkenalkan anggota keluarga saya. Karena anak-anak saya sedang tidak ada di rumah, maka akan saya tunjukkan lewat foto,” Julian menuntun Debo masuk ke ruang keluarga.

Debo terkesima. Ada sekitar 10 bingkai foto yang menghiasi ruang keluarga tersebut. Dan Debo juga menarik kesimpulan, bahwa anak Pak Julian kembar!

“Itu foto anak-anak saya. Mereka kembar identik. Tapi kalau soal sikap, sangat bertolak belakang.” Pak Julian tersenyum.

Debo manggut-manggut.

“Anak saya yang pertama, namanya Matahari Jingga. Panggilannya Ata. Dia yang pake baju biru itu,” tunjuk pak Julian pada sebuah bingkai foto. “Lalu satunya Matahari Senja. Panggilannya Ari. Dia yang di sebelahnya. Dari wajahnya keliatan banget kalo dia bandel, hehe.” Pak Julian terkekeh.

“Wah, istri bapak cantik,” ucap Debo sambil mengamati bingai terbesar di ruangan tersebut.

Pak Julian tersenyum, “Yah, begitulah. Ah, bukan istri saya. Nanti juga jadi mama kamu,” ujarnya.

Debo tersenyum. Iya juga ya? Wah beruntung banget bisa di angkat anak sama pak Julian. Orangnya baik banget. Gumam Debo dalam hati.

“Yasudah, kamu istirahat dulu di dalam kamar. Nanti kalau ada apa-apa, tinggal bunyiin bel yang ada di dekat kamar tidur kamu. Nanti Bik Serjun bakal nurutin apa yang kamu pengen,” kata Pak Julian sambil mengenalkan Bik Serjun yang sudah ada di sebelahnya—entah sejak kapan.

Debo mengangguk canggung. Duh, kaya pangeran aja. Ujarnya dalam hati.

“Bik, antar Debo ke kamar yang tadi saya kasih tau, ya” pesan pak Julian.

“Baik tuan,”

“Yasudah, saya masih ada meeting di luar. Kalau ada apa-apa tinggal bilang aja sama bik Serjun.” Pamitnya pada Debo.

“Iya, om.”

“Jangan panggil om, panggil papa aja,”

Debo meringis, “Oke, pa.”

Pak Julian berlalu. Tinggal lah kedua orang tersebut di dalam ruang keluarga.

“Hmm, ke kamar yuk bik. Debo gak sabar! Pengen liat gimana kamar Debo.”

Bik Serjun menganggguk lalu berjalan mendahului Debo ke tangga. Mereka menaiki tangga yang melingkar. Di tengah-tengah, Debo berhenti. Di tengah-tengah ada sebuah lampu yang besar yang panjangnya hampir sampai lantai satu. Debo berdecak. Dia benar-benar berasa tinggal di dalam istana.

“Den ari dan Den Ata belum pulang ekskul, Den.” Ujar Bi Serjun sambil berjalan.

Debo manggut-manggut. “Mereka kelas berapa ya bik?”

“kelas 3 SMA Den. Mereka kembar. Aden tau, kan?”

Debo mengangguk, “Ya, bik. Hmm, mereka itu orangnya gimana?”

“Den Ata itu baik, sopan, ramah dan murah senyum. Kalau Den Ari itu lebih pendiam, cuek dan jarang senyum.”

Debo manggut-manggut lagi. “Bibi udah lama kerja disini?”

“Ya begitulah Den, bibik udah hampir 20 tahun mengabdi di rumah ini.” tutur Bi Serjun. “Nah, ini kamar Aden,” Bi Serjun berhenti di sebuah kamar bercorak Abu-abu yang pintunya sudah di buka.

Debo masuk ke dalam. Kamarnya besar sekali! Hampir sama dengan aula dip anti asuhannya dulu! Wah! “Ini beneran kamar Debo, bik?”

Bi Serjun mengangguk. “Iya den. Ada yang perlu bibik bantu?”

Debo menggeleng, “Ga bik, terimakasih. Debo mau istirahat saja.”

“Baiklah Den, bibik permisi dulu ya.”

Debo mengangguk. “Terimakasih bik,”

“IIya deh.”

Pintu di tutup.

“Wah gila!!! Aku jadi orang kaya, hihihi” gumam Debo sambil loncat-loncat ga jelas di dalam kamar. “Hmm, bisa bantuin Ify nyariin Stef dong?? Wah, Debo punya adek nih! Tapi namanya aneh, masa iya Matahari Jingga sama Matahari Senja? Pasti pak Juli..eh salah ! Pasti papa atau mama suka banget sama matahari. Buktinya banyak banget bunga matahari di depan rumah. Ckckc.” Debo geleng-geleng sendiri.

“Buset!! Kamar mandinya!!” girangnya saat membuka salah satu pintu yang ada di dalam kmarnya. “Kamar mandinya aja kaya kamar acha dan kawan-kawan di panti! Ya ampun…” takjubnya. Debo pun hanyut dengan kegembiraannya di dalam rumah keluarga ‘Matahari’ tersebut.