Senin, 27 Desember 2010

Siang itu mendung tebal menyelimuti langit. Sepertinya hujan deras akan turun sebentar lagi. Di dalam kamar mulai kurasakan hawa dingin, mulai kudengar gemercik air. Sial, hujan deras itu benar-benar datang. Itu berarti aku harus tetap di rumah, aku tidak bisa bermain keluar rumah. Tidak bisa bertemu dengan sahabat-sahabat baikku. Itu sangat membosankan.

Di sini aku tinggal bersama nenekku. Aku juga mempunyai dua sahabat baik. Mereka bernama bernama Rio dan Ray. Aku selalu bermain dengan mereka berdua. Bahkan kalo di sekolah banyak yang bilang dimana ada aku pasti ada Rio dan Ray, begitu sebaliknya.

Di depan jendela kamar aku hanya duduk memandangi hujan yang turun dan menari-nari begitu saja tanpa merasa bersalah. Semua benda basah terkena air hujan. Tiba-tiba terdengar suara teriakan nenek memanggilku dari lantai bawah.

“Alvin…” Teriak nenek.

“Iya Nek..” Jawabku langsung berlari ke bawah.

“Minggu depan kamu harus sudah siap berangkat ke Malang.” Kata nenek sesampainya aku di bawah.

“Nenek… Alvin gak mau ninggalin kota Jakarta ini. Alvin gak mau ninggalin sahabat-sahabat Alvin.” Tolakku. Hujan di luar bukannya semakin reda, tetapi tambah deras.

“Alvin.. nenek tau, kamu sayang banget sama Rio sama Ray. Tapi kamu juga harus pindah ke Malang. Kamu harus menemui kedua orang tuamu di sana. Besok kalau kamu udah besar, nenek janji Alvin boleh banget balik ke Jakarta lagi.” Paksa nenekku. Aku tak menghiraukan kata-kata nenek tadi. Tanpa menjawabnya, aku langsung berlari keluar rumah.

Hujan yang semakin deras itu tak menghalangiku untuk berlari ke bangku sebuah taman. Dingin menusuk tulangku, tapi itu tak kurasakan. Aku duduk di bangku taman tempat aku, Rio dan Ray sering bermain. Aku menangis di sana.

Tuhan. Aku belum siap ninggalin kota ini. Aku belum mau meninggalkan sahabat-sahabatku. Dan mungkin aku gak akan mau ninggalin sahabat-sahabatku itu. Sebuah kaleng pun menjadi korban kemarahanku. Aku duduk di taman yang sangat sepi itu. Tak ada seorangpun yang datang ke taman itu.

“Jangan nangis Alvin. Kamu cowo. Kamu gak boleh nangis.” Kataku sendiri sambil menghapus air mataku.

Lama aku duduk menangis di taman itu. Hujan masih terus mengguyurku dan bumi gersang ini. Aku pun beranjak dari tempat dudukku. Aku mulai berjalan menyusuri taman itu. Aku berjalan menuju rumah Rio. Rumah Rio lah yang paling dekat dengan taman dibanding rumahku dan rumah Ray. Pusing yang sangat mulai kurasakan. Wajahku pun mulai memucat. Ku percepat langkah kaki ini. Jarak menuju rumah Rio masih sedikit lagi. Ayo Alvin kamu kuat.

Sesampainya di rumah Rio. Ku ketuk pintu rumah yang sangat besar itu. Dengan harapan cepat ada yang membuka pintu itu.

“Ya Tuhaan.. Alvin. Kamu ngapain hujan-hujan. Ayo masuk.” Kata Rio yang baru saja membukakan pintu. “Kamu sekarang ganti baju dulu. Pakai baju ku terserah yang mana. Terus nanti aku buatin minuman anget.” Sambungnya, muka Rio terlihat sangat khawatir.

Aku hanya duduk di ruang tamu rumah Rio dengan handuk kecil yang terkalung di leherku. Rasanya dingin sekali hari ini. Kepalaku semakin pusing. Tanpa ku sadari Rio telah membawakan segelas minuman hangat dan satu set baju untukku. Dia memang baik sekali.

“Yo,” panggilku lemah. Rio pun menoleh ke arahku. “Thanks ya Yo. Kamu baik banget,” kataku lagi. Kalau begini baiknya sahabat-sahabatku ini, mungkin aku tidak akan pernah tega mengucap kata pamit ke mereka.

Setelah minuman hangat itu ku habiskan dan baju itu aku pakai. Aku disuruh istirahat di kamar Rio.

Selama seminggu setelah kejadian itu. Aku, Rio, dan Ray selalu bermain bersama. Aku ingin menghabiskan waktu-waktu terakhirku di kota ini bersama dengan sahabat-sahabatku itu. Hari ini aku berangkat ke Jogja, tetapi aku belum berpamitan dengan sahabat-sahabatku.

Untuk terakhir kalinya aku mendatangi taman tempat kami bertiga biasa bermain. Dengan harapan di hari Minggu yang cerah ini Rio dan Ray sedang bermain di sana. Dan aku bisa berpamitan dengan mereka. Semoga janji nenek itu benar. Aku bisa kembali ke sini kalau aku sudah besar nanti.

Di taman, terlihat Rio akan memberi surat kepada seorang perempuan. Surat itu aku rebut dan ku baca keras-keras. Rio terlihat sangat marah dan pergi meninggalkanku. Memang aku salah, Ray juga ikut pergi meninggalkanku. Itu artinya aku tidak bisa berpamitan dengan kedua orang yang selalu menghiburku. Aku pun pergi meninggalkan taman dan langsung menaiki mobil yang akan membawaku pergi ke Malang.

Saat mobilku melaju meninggalkan rumahku. Aku melihat Rio berlarian mengejar mobilku. Sepertinya dia mengatakan sesuatu. Tapi aku juga tak bisa menghentikan mobil yang melaju sangat cepat ini. Maafkan aku sahabatku.

Sesampainya di Malang, aku tak akan melupakan kedua sahabat sejatiku itu. Di sana aku tinggal bersama kedua orangtuaku dan dua orang kakak perempuanku. Tapi rasanya tetap saja sepi, tak ada sahabat yang menemaniku. Orangtuaku sibuk bekerja, kakak-kakakku sibuk dengan urusan masing-masing.

Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Sekarang aku sudah berumur 18 tahun. Kata nenek, aku sudah boleh pergi ke Jakarta menemui sahabat-sahabatku. Rasanya sungguh bahagia hatiku saat itu. Setelah nenek memperbolehkanku, aku langsung meminta izin kepada orangtuaku dan kepada kakak-kakakku. Mereka juga mengizinkanku pergi ke Jakarta. Dan mereka juga mengizinkanku tinggal di rumah nenek yang di Jakarta. Lengkap sudah kebahagiaanku hari ini.

Aku langsung mengemasi barang-barangku. Semua sudah masuk ke dalam koper besar. Aku ke Jakarta dengan menggunakan mobil, tanpa di temani siapapun.

Setelah satu hari satu malam di dalam mobil. Akhirnya aku sampai di depan rumah nenek. Rumah itu masih terawat. Entah siapa yang merawatnya. Aku langsung masuk dan beres-beres di dalam rumah. Selesai berberes-beres dan membersihkan badan aku berniat akan pergi ke taman tempat dulu aku, Rio, dan Ray sering bermain.

Baru keluar dari pagar rumah. Ada seseorang menepuk bahuku dan memanggil namaku. Aku langsung menoleh. Sepertinya aku kenal wajah-wajah dua orang yang sekarang ada di hadapanku ini.

“Vin, kamu masih inget aku kan? Masak kamu lupa?” kata salah seorang dari mereka.

“Kalian siapa? Kalian kenal aku?” kataku masih berfikir. “Ya ampun. Kalian Rio sama Ray kan?” sambungku saat aku sudah mengingatnya.

“Bener banget. Kamu kemana aja? Kok kamu ngilang tanpa ada kabar?” tanya Ray yang tidak meninggalkan ciri khasnya. Rambut gondrong.

“Maafin aku ya. Aku gak pamitan dulu sama kalian. Waktu itu aku mau pamitan, tapi Rio marah sama aku. Ya udah, aku gak jadi pamit sama kalian,” kataku sambil memeluk kedua sahabat-sahabat terbaikku itu.

“Kamu gak salah kok. Aku yang salah waktu itu pakai acara marah-marah segala. Sekarang senyum donk Alvin yang murah senyum itu mana?” kata Rio menyalahkan dirinya dan mencoba menghiburku. Rio masih sama seperti dahulu, dia masih tetap menjadi anak yang paling rapi pakaiannya diantara kita bertiga.

“Udah, di sini gak ada yang salah. Kita sekarang ke taman yuk. Main-main kayak dulu lagi.” Ucap Ray menengahi.

Mulai saat itu aku bisa kembali berkumpul dengan sahabat-sahabatku. Ternyata benar kata orang-orang bahwa semua akan indah pada waktunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar