Senin, 27 Desember 2010

Cerpen: Sketsa Cinta dan Bintang Kertas *KEREN*

Aku baru tahu sekarang, kenapa rio selalu melamun setiap selesai mengerjakan PR di meja belajarnya. Aku sempat berpikir aneh-aneh tentang teman sekamarku itu. Tiada malam tanpa melamun, itulah semboyan dia sekarang. Setiap kali aku tanya, dia hanya menjawab “ini soal hati, men,” lalu melamun lagi.

Aku juga baru paham sekarang, kenapa cakka selalu terperangah setiap kali melihat ada perempuan yang lewat di depannya, mengibaskan wangi parfum ke batang hidungnya. Dia selalu terdiam selama beberapa menit menatap lurus pada wanita yang lewat di matanya, di pikirannya lalu di hatinya. Aku baru mengerti, kenapa mereka seperti itu. Penyebabnya tak lain yaitu karena: wanita adalah makhluk terindah. Dengan senyumnya, wanita mampu menaklukkan api, dengan tatapan matanya, wanita bisa mencairkan es di kutub utara. Dengan suara merdunya, wanita mampu menidurkan srigala, dengan kelembutan sentuhannya, wanita bisa menundukkan dunia.

* * *

“iel, bener sivia belum punya cowok?” Aku bertanya dengan penuh rasa ingin tahu.

“Iya, alvin, dia belum punya cow!.” Sudah sepuluh kali iel mengatakan hal yang sama. Aku masih juga tidak yakin. “Lalu, gimana dengan septian? Kabarnya sivia ‘kan naksir abis sama septian?” Aku memasang tampang cemberut, aku masih tidak percaya apa kata iel.

“septian itu udah punya cewek di kampung, jadi dia gak akan mau sama Neni. Lagian, sivia itu ‘kan cewek tomboy. Hayooo… kamu suka sama dia ya?” iel menggelitik perutku.

“Eh, homo!!! Hahaha….” kami tertawa bersama. Tawa yang akan menyelinapkan duka di hatiku. Tawa yang akan mengantarkanku pada air mata pertama, yang jatuh karena wanita. Aku melanjutkan, “Emmm…suka sich gak, aku pengen tahu aja, yel….”“Makanya, jangan makan rumus aja. Ini ke mana-mana bawa rumus gravitasi. Udahlah, bentar lagi masuk. Aku ke kelas dulu.” Hatiku lega mendengar apa yang barusan disampaikan iel. Aku Cuma bisa berdo’a, semoga saja dia benar.

Ya, aku merasakan sesuatu yang berubah. Waktu aku masih di kelas satu kemaren, aku hanya berkutat dengan buku dan pena, berkubang dengan tinta, bermandikan keringat dari raga yang selalu diperas untuk menyelesaikan persoalan Matematika. Sekarang, aku sudah kelas XI IPA 2 SMA, aku merasa hormonku berkembang. Aku sudah bisa melihat wanita. Dan wanita pertama yang membuat mataku buta adalah dia, sivia, cewek paling tomboy di sekolah. Aku merasa tida ada lagi wanita yang lebih cantik dari dia di dunia ini. Aku merasa tidak ada lagi senyum yang paling menawan selain hanya senyumnya.

Sejak kenaikan kelas kemaren, mataku tak pernah berhenti barang sedetik untuk menatap caranya berjalan, memandang caranya makan, mengamati caranya berbicara, meneliti caranya memperlakukan para pria. Ya, aku merasa mampu mengangkat gunung jika di bawah gunung itu ada cintanya, aku merasa mampu menguras habis air tujuh samudera jika di dalam samudera itu ada dirinya, diri wanita pujaanku, Sivia Azizah.

Sejak aku suka padanya, aku selalu mencari tempat duduk yang dekat dengannya, ada yang menarik hatiku untuk selalu berada di sisinya. Aku tidak tahu apa. Seperti pagi ini, aku duduk di depannya. Bangku pertama dari depan, dan dia di bangku tepat di belakangku. Dia sedang sibuk mencoret-coret kertas putih dibawah dagu yang berbentuk tampuk lebah, dia sedang menulis kata dengan jemarinya yang lentik bagai penari zapin. Sungguh anggun.

“alvin, tolong bikinin aku tugas describing person, dong! Atau coba periksa punya aku, betul gak?” Dia menyodorkan lembar kerjanya padaku. Aku mengamatinya. Dia mendeskripsikan gaya liuk Ronaldinho menggiring bola. Dia memang maniak bola kaki. Dia hapal nama-nama pemain bola terkenal beserta profil mereka, apa posisinya dalam tim, berapa gol yang dicetaknya, dan lain sebagainya.

“Oke, aku mau men-translet-kannya ke Bahasa Inggris, tapi jangan pemain bola, vi….” Aku menatap mata indahnya dengan bulu mata lentiknya. Rambutnya tergerai beberapa helai membingkai senyum di wajah manisnya. Dia sekilas seperti Ran Mouri, belahan jiwa Shinici Kudo, si Detektif Conan. Cantik, tomboy, dan tangguh.

“Ya, sini aku ubah dulu.” Dia meraih kertas itu dariku. Tak berselang beberapa menit, dia mencolek leherku dan memberikan kertas kerjanya lagi. Kali ini dia mendeskripsikan ibunya.

“Ibuku adalah wanita yang cantik, feminim dan pintar. Dia sangat baik dan paling rajin membersihkan rumah. Aku merasa minder jadi anaknya karena aku tidak secantik dirinya. Tapi, pada saat aku berumur 10 tahun, ibuku sakit dan dibawa ke singapura untuk berobat. Tapi, Tuhan terlalu sayang pada ibuku. Tuhan mengambil ibu dariku. Sejak itu, aku tidak punya ibu…”

Sampai di situ, aku tidak melanjutkan membaca, aku menoleh ke belakang. Aku disuguhkan bangku kosong. sivia sudah tidak ada di tempat duduknya. aku segera berlari keluar kelas.

“Bu Permisi!” Aku berlari sekencang mungkin melewati kelas demi kelas. Aku tahu, aku yakin, dia pasti sedang menangis. Aku langsung menerobos masuk ke toilet perempuan. Aku membabi buta. Aku buka ketiga pintu WC yang ada, untungnya tidak ada cewek di dalam. Kalau ada, sudahlah, namaku akan tercoreng, dari bintang sekolah menjadi seorang pengintip. Dia tidak ada. Lalu aku pergi ke samping WC, dia sedang duduk memeluk lutut dengan kepala ditenggelamkan ke dada. Aku hanya bisa berdiri di depannya. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku kembali berlari, kembali ke kelas. “Ada yang punya tissue?” Aku melihat ify mengeluarkan tissue dari tasnya. Aku segera merebutnya dan kembali ke samping toilet. Aku duduk di depan sivia, dengan tangan bergetar, kuusap kepalanya. Dia memandangku, air matanya berlinang deras menjalari setiap penjuru wajahnya nan ayu.

“Maafin aku, vi.” Kataku lembut.

“Gak papa, kamu nggak salah, kok.” Dia masih terisak dalam tangis. Aku buka tissue itu dan menghapus air matanya. Dia menatap mataku. Tatapan matanya menjelajahi relung terdalam hatiku. Dadaku berdegup kencang. Didobrak oleh rasa yang aku tidak tahu namanya. Tiba-tiba dia merengkuhku dalam pelukannya. Erat, sangat erat, aku jadi susah bernafas.

“vi, udah, jangan nangis. Aku jadi ikut sedih kalau kamu nangis…” Karena…”karena aku sayang kamu,” lanjutku dalam hati. Ternyata, karena itulah dia selama ini jadi cewek tomboy. Dia kurang kasih sayang dari ibunya, tapi di balik ketomboiannya, dia adalah wanita berhati lembut. Itulah yang membuat aku jatuh cinta padanya.

Sore, setelah pulang sekolah, dia menghampiriku, memberiku bintang kertas yang mungil dan lucu. Dia tersenyum padaku dan berterima kasih karena aku telah menghapus satu duka di hidupnya. Aku menyimpan bintang kertas itu baik-baik. Bintang kertas itu menjadi sketsa cintaku yang menjelma menjadi duka, setelah aku tahu, ternyata sivia pacaran sama septian, iel telah membohongiku. Dalam gambaran indah hatiku, aku mengira sivia akan menjadi pacar pertamaku, ternyata tidak. Hatiku hancur seperti batu yang dihantam bom atom berkekuatan berjuta newton.

Dua tahun kemudian, saat hari kelulusan, aku kembalikan bintang kertas itu padanya. Cukuplah sketsa cinta bermuara derita itu menjadi pengisi salah satu lembar hidupku. Saat aku baru tahu bahwa wanita adalah makhluk terindah, justru saat itu pula cinta di hatiku punah.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar