Senin, 27 Desember 2010

aku merindukan mu *INI JUGA KEREN*

haii.. maaf ya yang aku tag tanpa izin,,

ini cerpen pertama ku yang tokoh2nya anak icil

buat ICL semoga suka yaaa

buat semuanya, maaf kalo gak bagus

enjoy :)

“Kakak !” ucapku pada Kak Iel. Ia pun menatapku.

“Jangan lama-lama ya, aku bakal kangen Lo, kak !” lanjutku. Butiran kristal mulai membuat pandanganku terganggu. Sampai akhirnya menetes.

Kak Iel hanya tersenyum, sambil mengelus kepalaku lembut. Aku makin terisak.

“Jangan nangis. Gue pasti balik. Dan orang yang pertama kali Gue temuin itu Lo, Fy.” katanya sembari membersihkan air mata yang sudah membasahi pipiku.

“Janji ?” kataku seraya mengacungkan jari kelingking.

“Janji !” ucapnya mantap dan menautkan jari kelingkingnya di jariku.

“Gue pergi ya. Jaga diri Lo. Gue sayang Lo, Fy !” tambahnya. Aku memandangnya lekat.

Apa tadi ? Dia bilang apa ? Sayang ? Benarkah ? Apa maksudnya ? Ah, apa yang ku pikirkan. Dia hanya menganggapku sebagai adiknya, tak akan lebih. Pikirku lirih.

“Gue juga sayang Lo, Kak !”

Kak Iel pun beranjak pergi meninggalkanku. Aku hanya bisa menatap punggungnya dari jauh. Menatapnya dengan sedih. Dan lagi-lagi air mataku menetes. Namun, aku berusaha tetap tegar. Setelah bayangan tubuhnya lenyap dari pandanganku, aku memutuskan untuk pulang. Karena sepertinya orang-orang juga sudah risih dengan ku yang menangis ini. Aku pergi menuju pintu keluar bandara, tentu masih dengan isakan tangisku.

Aku, Alyssa Saufika Umari. Gadis remaja yang sangat menyukai musik, dan piano. Ya, aku sangat suka bermain piano. Dan yang membuatku lebih menikmati permainan musik piano adalah Kak Iel. Gabriel Stevent Damanik. Begitu nama lengkapnya. Ia selalu menemaniku bermain piano. Dan ikut bernyanyi setiap kali aku memainkannya. Suaranya yang lembut membuat hatiku tenang dan damai. Tapi, semenjak kepergian Kak Iel ke London, hari-hariku tak lagi indah. Tak ada yang menemaniku bermain piano. Biarpun begitu, aku masih sering memainkan alat musik favoriteku itu. Walau tanpa Kak Iel. Kadang aku rindu masa-masa dulu bersamanya.

Kak Iel adalah orang yang sangat menyenangkan. Aku mengenalnya sudah sangat lama. Sejak kelas 4 SD. Dan sampai aku masuk SMA pun, kami masih berteman baik. Sekarang aku baru saja menerima rapor. Dan akan segera menjadi murid kelas XI di sekolahku. Aku bahagia sekali ketika Kak Iel menelponku dan menanyakan hasil raporku.

“Cie, yang peringkat 1 nih yeee. Selamet ya, Fy !” kata Kak Iel dari seberang sana.

“Hehe.. Makanya, buruan balik dong, Kak. Gue mau nunjukin nilai-nilai Gue ke Elo.” ucapku bangga.

“Iya deh. Ntar ya.. Oh, ya Fy. Lo masuk kelas mana ?” tanya Kak Iel.

“Masuk di kelas Lo dulu, Kak. XI-IPA 1.” jawabku.

“Wah... Asik dong. Ehm, Fy, Gue matiin dulu ya telponnya. Gue masih ada urusan nih. Maklum orang sibuk.” kata Kak Iel. Aku tertawa kecil.

“Yaudah, Bye Kak!”

“Bye, Fy.” telepon pun terputus.

“Gue kangen Kakak” gumamku. Tapi tanpa menangis. Karena aku sudah berjanji pada Kak Iel bahwa aku tidak akan cengeng lagi. Entah sampai kapan aku bisa menepatinya. Semoga saja.

***

2 minggu sudah aku habiskan waktu liburan di rumah. Liburan akhir semester kali ini, aku dan keluargaku tidak menghabiskannya di luar kota seperti biasa. Karena ayah ada tugas mendadak di Bandung yang membuat aku, ibu, dan adikku hanya tinggal di rumah. Dan tak terasa hari ini aku sudah harus menjalankan kewajibanku seperti biasa. Bersekolah. Dengan semangat, aku menuruni anak tangga menuju meja makan. Disana sudah ada Ibu, dan Acha adikku.

“Bu, Ify langsung aja ya.” ucapku sambil mengambil sebuah roti selai yang dihidangkan di meja.

“Loh, kenapa gak makan dulu, Sayang ?” tanya ibu perhatian.

“Takut telat, Bu.”

“Cha, Kamu mau bareng Kakak ?” lanjutku bertanya pada Acha yang saat itu sedang minum segelas susu.

“Gak deh, Kak. Ntar Keke yang jemput.” balas Acha.

“Yaudah, aku duluan deh. Bu, Ify berangkat ya.” aku mencium punggung tangan ibu, dan beranjak pergi ke garasi mengambil mobil jazz hitam ku.

Di perjalanan, aku habiskan waktu untuk bernyanyi sambil terus berkonsentrasi pada jalanan pagi kota Jakarta yang sudah lumayan macet itu.

“Aku rindu setengah mati kepadamu, sungguh ku ingin kau tau... Aku rindu...” sementara aku sedang asik bernyanyi, tiba-tiba......

BRAAAAAKKKKKKK

“Ya ampun !” seruku panik.

“Heh !! Keluar Lo !” teriak seorang pemuda sambil memukul-mukul kaca mobilku.

Dengan perasaan takut dan bersalah, aku membuka kaca mobil. Kemudian menatap pemuda itu.

“Ma.. Maaf ya ! Gue gak liat ada Lo di depan tadi.” ucapku takut. Pemuda itu terdiam.

‘Tuhan, manis banget ni cewek’ batinnya.

“Hey ! Lo gak apa-apa kan ?” tanyaku. Pemuda itu terkejut.

“Eh,, E.. Iya, Gue gak apa-apa” jawabnya gugup. Matanya masih terus menatap ku. Membuatku sedikit ngeri.

“Syukurlah !” balasku lega.

“Sekali lagi maaf banget ya. Gue beneran gak liat ada Lo sama motor Lo di depan” lanjutku masih dengan perasaan bersalah.

“Iya, gak apa. Maaf tadi Gue udah marah-marah.” katanya. Aku tersenyum.

“Yaudah kalo gitu, Gue duluan, ya ! Udah telat” sejurus kemudian, aku pergi meninggalkannya yang memang sepertinya tidak apa-apa. Dan aku bersyukur karena itu.

07:00. Aku terkejut. Jam mini di mobilku menunjukkan pukul 7 tepat. Bagaimana ini ? Pikirku khawatir. Hari ini adalah hari pertama masuk sekolah, tidak lucu kalau sampai aku terlambat. Ah ! Sial ! Aku merutuki kejadian yang ku alami pagi ini.

Dengan berbekal kenekatan, aku lajukan mobilku. Sangat cepat. Tanpa memperhatikan lagi angka yang ditunjukkan speedometer saat itu. Yang ada di pikiranku hanya sampai di sekolah tanpa harus terlambat. Meskipun aku sendiri ragu akan sampai tepat waktu, setelah tadi aku melihat jarum jam menunjukkan pukul 07:08.

Fiuh ! Lega akhirnya. Aku sudah sampai di sekolah. Kembali aku lihat arloji yang melingkar di pergelangan tanganku.

“Sial ! Jam 7 lewat 10.” gumamku.

Aku berlari menuju kelas baruku. Kelas XI-IPA 1. Kelas yang juga pernah ditempati Kak Iel saat masih bersekolah disini. Hmm... Lagi-lagi Kak Iel. Huh, hidupku benar-benar tidak bisa lepas dari bayangannya. Tapi aku senang. Semoga Kak Iel juga memikirkanku disana. Doaku.

“Permisi, Bu !” kataku sopan pada Bu Winda, yang sepertinya akan segera menjadi wali kelas ku.

“Ya, silahkan masuk !” suruhnya padaku. Aku pun masuk dan duduk di pojok kelas. Kebetulan bangku itu belum ada yang menempati.

“Permisi !” kata seseorang sambil mengetuk pintu.

“Oh, Kamu. Mari masuk.” kata Bu Winda pada orang itu.

Orang itu pun masuk. Suasana kelas menjadi hening sesaat.

“Dia ???” gumamku tak percaya.

Orang itu. Pemuda itu. Dia yang bertemu denganku di jalan tadi pagi. Benarkah ??? Tapi kenapa dia ada disini ? Dia bukan murid sekolah ini kan ? Banyak pertanyaan berkelebat di otakku.

“Mario, silahkan perkenalkan diri Kamu” ujar Bu Winda mempersilahkan.

Mario ???? Namanya kah ????

“Terimakasih, Bu. Selamat pagi. Perkenalkan, namaku Mario Stevano Aditya Haling. Kalian bisa memanggilku Rio. Aku murid baru disini.” katanya seraya memperkenalkan diri.

Murid baru ?? tanyaku lagi. Masih dalam hati.

“Mario, Kamu bisa duduk di sebelah Ify.” kata Bu Winda, sambil menunjukku.

Mario atau Rio itu pun berjalan menuju bangku di sebelahku. Dan sepertinya seluruh siswi di kelas ini menyukainya. Mereka semua menghantarkan kepergian Rio ke arahku dengan tatapan yang mengisyaratkan “Cakepnya, kerennya, dsb”. Aku berdecak heran dalam hati. Kenapa mereka semua ?

“Hey, Lo kan ......” sapanya padaku. Ucapannya terpotong. Entah karena apa. Mungkin ia ingin mengatakan kalau aku yang ditemuinya tadi pagi.

“Iya, Gue yang tadi pagi ketemu dan gak sengaja nabrak Lo” aku menjawab ucapan yang belum sempat ia lanjutkan itu.

“Gak nyangka Lo sekolah disini juga. Kebetulan banget dong !” ucapnya. Aku hanya tersenyum.

Di kantin..

“Fy, Rio cakep banget ya !” gumam Sivia. Sahabatku.

“Oh, ya ?” balasku. Sivia mengangguk.

Tuhan... Sahabatku, Sivia ternyata juga tergila-gila dengan Mario. Ada apa dengannya ? Pesonanya sudah menyebar. Bahkan sahabatku juga kena. Dunia sudah aneh. Pikirku.

Memang ku akui dia tampan, tapi aku merasa tak ada yang berbeda. Dia sama saja dengan teman-teman ku yang lain. Sama seperti Cakka, Alvin, dan yang lainnya. Entahlah... Mungkinkah aku yang aneh ?

***

3 minggu sudah aku mengenal sosok Mario. Ia sangat menyenangkan. Dan siapa yang menyangka, sekarang aku berteman dekat dengannya. Bahkan Sivia mengira aku sudah berpacaran dengan Mario. Aneh-aneh saja. Awalnya aku sempat berpikir Mario orang yang membosankan. Ternyata aku salah. Aku mulai menyukainya. Tapi, tidak lebih dari seorang teman. Meskipun kadang aku merasa ada getaran-getaran yang susah untuk ku artikan ketika bersamanya.

Aku juga merasa Mario sangat mirip dengan Kak Iel. Sifatnya, kelakuannya, bahkan wajahnya pun sekilas mirip dengan Kakak yang sangat aku rindukan itu.

Mario juga sering menemaniku bermain piano. Sama seperti hari ini. Aku dan Rio sedang ada di kamar musik milik ayah ku.

Melihat tawamu

Mendengar senandungmu

Terlihat jelas di mataku warna-warna indahmu

Menatap langkahmu

Meratapi kisah hidupmu

Terlihat jelas bahwa hatimu

Anugerah terindah yang pernah ku miliki

Sifatmu nan slalu redakan ambisiku

Tepikan khilafku dari bunga yang layu

Saat kau disisi ku

Kembali dunia ceria

Tegaskan bahwa kamu

Anugerah terindah yang pernah ku miliki

Mario bernyanyi dengan suaranya yang begitu lembut. Ku akui aku sangat suka mendengarnya bernyanyi. Aku menyukai suara lembutnya. Sangat suka. Dan lagi-lagi dirinya mengingatkan ku pada Kak Iel. Sudah hampir 1 bulan ia tidak menghubungiku dan memberiku kabar. Aku takut dia sudah melupakan ku. Perasaanku mulai tak enak. Tapi segera aku tepis dan ku buang jauh-jauh pikiran bodohku itu.

“Fy, permainan piano Lo bagus banget” puji Rio.

“Ah, Lo terlalu berlebihan. Tapi thanks ya !” balasku sambil tersenyum.

“Hmm.. Fy !” panggil Rio. Aku menoleh ke arahnya.

“Ya ?”

“Gimana kakak yang pernah Lo ceritain ke Gue ? Dia udah kasih Lo kabar ?” tanya Rio. Terdengar ucapannya yang sangat hati-hati.

Ya, aku sudah bercerita tentang Kak Iel pada Rio. Ia dengan senang hati mendengarkan ceritaku. Tak terlihat sedikit pun raut bosan dari wajahnya. Entah mengapa, aku dengan mudahnya bercerita kepada sosok Rio ini. Aku sangat percaya padanya. Bahkan tak jarang ia juga menanggapi ceritaku dan memberiku semangat. Aku semakin menyukainya.

“Belum, Yo. Mungkin dia udah lupa sama Gue !” jawabku lirih.

“Yang sabar ya, Fy. Gue yakin dia gak mungkin lupa sama Lo !” ujar Rio menyemangatiku.

“Makasih, Yo !” balasku. Rio mengangguk.

“Fy, ikut Gue, yuk !” ajak Rio.

“Kemana ?”

“Ikut aja deh. Ntar Lo juga tau !” balas Rio. Membuatku penasaran. Dan akhirnya aku mengiyakan ajakannya.

***

Aku mengedarkan pandangan ke seluruh wilayah tempat ku berdiri bersama Rio saat ini. Rerumputan hijau, air danau yang mengalir begitu tenang hampir tak beriak sedikit pun, dan matahari sore yang letaknya terasa begitu dekat denganku sekarang.

“Wow.... !!! Bagus banget, Yo ! Kok Lo bisa tau tempat indah kayak gini ?” tanyaku yang masih memandang kagum pemandangan indah di hadapanku.

Rio hanya tersenyum tanpa melihat ke arahku. Tatapannya masih lurus ke depan. Seakan ia mendapati sesuatu yang menarik di depannya.

“Ini tempat favorite Gue. Dulu Gue pernah ke sini sama almarhum papa Gue. Dan bukit ini juga tempat terakhir Gue sama papa ngomong berdua” balas Rio. Tatapannya masih belum beranjak. Masih setia pada pandangannya di sana. Menatap kosong pada awan yang mulai berwarna keemasan.

Aku menatap Rio. Terlihat matanya yang mulai sedikit memerah. Aku menggenggam erat tangannya.

“Maaf Yo. Gue gak bermaksud ngingetin Lo sama masa lalu Lo” ujarku pelan. Rio menatapku.

“Gak kok. Gak apa-apa. Gue sendiri yang mau cerita.” balasnya.

Aku merasa, Rio membalas genggaman erat tanganku. Hangat dan nyaman. Itu yang ku rasakan saat ini.

“Fy...” panggil Rio. Saat ini kami sedang duduk di atas rumput hijau sambil menyaksikan matahari tenggelam.

“Ya , Yo ?” jawabku.

“Mungkin gak Gue masuk dalam kehidupan Lo ? Masuk ke dalam hati Lo ?” tanya Rio lagi. Aku terkejut. Ku tatap sosok pemuda manis di sampingku ini.

“Maksud Lo ?”

“Apa mungkin, Gue jadi pengganti sosok Kak Iel di hati Lo ?” tanya Rio tanpa menatap dan menjawab pertanyaanku tadi.

“Yo, Lo ngomong apa sih ?” tanyaku semakin tak mengerti.

“Gue.. Gue sayang Lo, Fy !” Rio menatap mataku. Tatapan yang sangat dalam dan tulus.

“Lo becanda ?”

“Menurut Lo ? Apa Gue becanda ?” tanyanya balik.

Aku terdiam. Masih tak percaya dengan apa yang Rio ucapkan tadi. Apa yang harus ku lakukan ??? Jujur, sebagian dari hati kecilku senang dengan pengakuan Rio. Tapi, sebagiannya lagi ragu. Aku masih menunggu Kak Iel. Aku yakin Kak Iel juga pasti masih menunggu ku. Tapi bagaimana dengan Rio ??? Aku tidak mau ia sakit hati. Tuhan , aku menyanyangi mereka berdua.

“Fy, balik yuk !” ajak Rio tiba-tiba.

Kenapa lagi ini ? Kenapa Rio tiba-tiba mengajakku pulang ? Ia tidak mau mendengar jawabanku atas peryataannya tadi ? Tapi kenapa ?

“Sudah. Jangan terlalu Lo pikirin. Gue gak mau pernyataan Gue tadi jadi beban pikiran Lo. Gue Cuma mau ungkapin isi hati Gue. Dan kalo Lo belum siap jawab, gak apa-apa kok. Gue bakal tunggu.” ucapan Rio seakan menjawab pertanyaanku barusan.

Aku semakin bingung. Aku mulai mencintai Rio. Tapi bagaimana Kak Iel ?

“Rio.... Jujur, Gue belum bisa dan gak akan pernah bisa lupain Kak Iel. Apa yang Gue rasain ke Elo dan Kak Iel beda. Gue sendiri susah buat terjemahinnya. Tapi Gue yakin dan percaya, kalau orang yang Gue cinta itu......” aku menghirup udara sejenak, lalu menghembuskannya. Berharap keputusan yang ku ambil tepat.

“Mario Stevano Aditya Haling” lanjutku yakin.

Aku merasa sangat lega setelah itu. Dengan fasih dan sangat lancar, aku berhasil menyebut namanya. Tak pernah aku merasa sedamai ini setelah menyebut nama seseorang. Seseorang yang bagiku sangat berarti.

“Kamu yakin, Fy ?” tanya Rio. Terpancar aura bahagia dari tatapan matanya.

“Hemh !” aku mengangguk.

Rio lalu menggenggam tanganku. Jauh berbeda dari yang tadi. Genggamannya begitu hangat dan erat. Tangannya yang lebar seakan mengunci dengan kuat tanganku agar tak pernah lari darinya.

“Ayo kita pulang” kata Rio akhirnya. Membuatku semakin bingung. Tapi aku senang, ia tidak seperti laki-laki lain yang biasanya langsung memeluk bahkan mencium. Aku semakin menyukai Mario. Dan aku semakin yakin karena memilihnya.

***

1 bulan berlalu setelah aku dan Rio berpacaran. Hari-hariku tak lagi sepi. Karena Rio selalu ada di sampingku, menemaniku. Rio juga tak pernah marah setiap aku bercerita tentang Kak Iel. Semenjak berpacaran, Rio selalu membantuku mencari tahu dan berusaha menghubungi Kak Iel. Namun, Kak Iel tetap menghilang bak ditelan bumi. Ada apa dengan Kak Iel ??? Aku rindu dia.

“Gimana, Yo ? Ada perkembangan ?” tanyaku pada Rio yang sedang mencari tahu tentang Kak Iel lewat internet.

“Gak ada, Fy” jawab Iel lemas.

“Kenapa sih Kak Iel jadi ngilang gini ?” aku menangis. Dan melanggar janjiku pada Kak Iel. Tapi terserahlah, aku tak peduli lagi dengan janji itu.

“Fy, sabar ya.. Gue pasti berusaha buat cari tau tentang Kak Iel.” Rio menenangkan ku. Aku pun berhenti menangis, walau masih dengan isakan.

“Yo, mungkin Kak Iel udah lupa sama janjinya. Dia gak akan balik ke Jakarta dan nemuin Gue” ucapanku terdengar bergetar. Rio mengelus kepalaku.

“Kak Iel gak akan lupa sama janji Lo ! Gue yakin itu, Fy. Tapi, cuma ada satu kemungkinan. Kemungkinan yang Gue harap gak akan terjadi.” kata Rio.

Apa maksud ucapan Rio tadi ??? Kenapa ucapannya teras pilu ku dengar ??? Semoga tak terjadi apa-apa dengan Kak Iel.

***

“Ify !!!!” panggil Rio. Ia tengah berlari ke arah ku sambil membawa sebuah amplop surat.

Kenapa Rio terlihat begitu panik ? Kenapa ia terburu-buru ? Tuhan, perasaan ku mulai tak enak.

“Fy !!” suara Rio terdengar parau. Nafasnya terdengar belomba-lomba.

“Kenapa Yo ? tanyaku panik.

“Kak Iel !! Fy, Gue tau dimana Kak Iel ?” kata Rio bersemangat, namun tatapannya terlihat lirih.

“Yang bener ? Dimana ? Gimana kabarnya ?” tanyaku menggebu-gebu.

“Lo baca, Fy !” Rio memberikan amplop surat untukku.

“Apa ini ?”

“Dari Kak Iel”

Dengan semangat, aku membuka secara paksa amplop itu. Namun tanpa membuat rusak isi surat di dalamnya.

“Fy, Kak Iel ada di Jakarta” ucapan Rio membuatku menghentikan aksi membuka amplop yang dari tadi aku lakukan. Dan sekarang isi suratnya sudah ada di tanganku.

“Hah ? Lo serius ? Bukannya Kak Iel di London ?” tanyaku bingung.

“Gak ! Lo salah. Dia ada disini. Di Jakarta”

# FLASHBACK : ON#

Rio akan menepati janjinya pada Ify. Ia akan mencari tau semua tentang Iel. Pagi ini Rio sangat bersemangat menuju rumah seseorang di daerah Bogor. Ia baru saja mendapatkan informasi tempat tinggal Iel selain di Jakarta. Ia mendapatkannya dari seorang tetangga Iel yang berada di Jakarta.

“Permisi !” sapa Rio sambil sesekali memencet bel rumah yang cukup luas itu.

10 detik kemudian pintu dibuka. Seorang wanita paruh baya yang bertubuh tegap membukakan pintu dan tersenyum ramah pada Rio.

“Misi, Tante.. Apa benar ini rumah Kak Iel ? Gabriel Stevent.” terang Rio bertanya.

“Oh, benar. Saya ibunya. Kamu siapa ya ? Teman Iel ?” tanya wanita itu yang ternyata adalah ibu dari Iel.

“Saya Rio, teman dekat Ify, Tante. Saya bisa bertemu Kak Iel nya sebentar ?” jawab dan tanya Rio.

“Ify ????”

“Ya, Tante !” Rio mulai bingung. Ia merasa ada hawa yang kurang menyenangkan disini, setelah melihat perubahan drastis dari raut wajah ibunda Iel.

“Tunggu sebentar ya, Nak Rio !” ibu itu masuk ke dalam rumah, meninggalkan beribu pertanyaan di hati Rio.

‘Kenapa sih ? Perasaan Gue mulai gak enak’ batin Rio.

2 menit kemudian, ibu itu kembali menemui Rio.

“Bisa kamu serahkan surat ini untuk Ify ?” pinta ibu itu.

“Oh, baik Tante. Akan saya serahkan nanti !”

“Kak Iel masih di London ya Tante ?” tanya Rio hati-hati. Lagi-lagi wajah ibu itu berubah. sangat sedih.

“Iel..... dia sudah meninggal Rio !” kata ibu itu lirih. Ia menangis.

Rio yang saat itu tidak mengetahui apa-apa, sangat terkejut.

“Maaf, Tante.. Ada apa sebenarnya ?” tanya Rio lagi, berusaha tak menyakiti hati ibu tersebut.

“Iel, dia meninggal karna penyakitnya. Leukimia.” terang ibu itu. Terpancar kesedihan yang mendalam di matanya. Rio bisa merasakan itu.

“Sebenarnya Iel pergi ke London untuk berobat. Namun, dokter bilang, sudah tidak ada kesempatan lagi..... Iel terlambat di bawa ke sana.” ucapan ibu itu terhenti. Air matanya masih mengalir tanpa isakan.

“Akhirnya setelah 3 minggu dirawat, Iel minta pulang ke Jakarta”

Suasana hening sesaat. Rio nampaknya tengah masuk dan merasakan cerita itu. Dadanya terasa sesak.

“Iel bilang, ia mau bertemu dengan Ify sebelum ia dipanggil Tuhan!” ibu itu semakin menangis. Rio berusaha menenangkannya.

“Setelah sampai di Jakarta, Iel bilang kalau besok ia akan menemui Ify. Namun... penyakit Iel kambuh malam harinya”

“Iel mengeluh saat itu. Dia bilang dia gak kuat lagi, dia cape. Dia mau cepet pergi dari dunia yang sudah menyiksa hidupnya selama 12 tahun terakhir. Dan rupanya Tuhan mengabulkan permintaan Iel” tangis ibu itu pecah. Ia tak mampu melanjutkan cerita yang sangat menyakitkan untuknya.

“Tante.. Maaf ! Saya gak bermaksud....” belum selesai Rio berbicara, Ibu itu memotongnya.

“Gak Rio. Kamu memang sepertinya harus tau. Dan, sebelum Iel pergi, dia bilang tolong kasih surat ini untuk Ify. Karena Tante belum bisa bertemu Ify, jadi tante mohon tolong kamu sampaikan surat ini untuk Ify.”

“Baik, Tante. Saya pasti langsung kasih surat ini untuk Ify”

“Dan satu lagi Rio. Sampaikan permintaan maaf Iel buat Ify.” ujar ibu itu lirih.

“Iya Tante. Akan Saya sampaikan”

“Tante, Saya pergi dulu. Maaf sudah mengganggu. Dan terima kasih untuk waktu nya.” lanjut Rio. Ia lalu pergi dari rumah itu. Semuanya terjawab sudah. Apa yang harus Ia katakan pada Ify ?? Ia takut membuat Ify semakin sedih mendengar kabar yang akan ia terima setelah ini.

#FLASHBACK : OFF#

“Fy, yang tegar ya ! jangan biarin Kak Iel sedih disana ngeliat Lo nangis kayak gini.” kata Rio lembut pada kekasihnya yang tengah menangis pilu setelah mendengar ceritanya.

“Gue marah Yo sama Kak Iel !! Kenapa dia bohongin Gue ?” lirihku di pelukan Rio.

“Tuhan punya rencana lain, Fy. Dan kita sebagai umat gak akan bisa mengubahnya !” kata Rio seraya mengelus pelan rambutku yang tengah menangis ini.

Kenapa secepat ini aku harus kehilangan orang yang aku sayang ? Kenapa Tuhan ? Aku sudah setia menunggu Kak Iel. Memegang janjinya. Tapi kenapa takdir-Mu menghancurkan semuanya ?

Dengan sisa tenagaku, aku membaca isi surat dari Kak Iel. Bersama Rio.

Dear, Alyssa Saufika Umari

Fy, mungkin ini pertama dan mungkin jadi yang terakhir kalinya Gue tulis surat buat Lo.

Mungkin juga Lo lagi nangis bacanya.

Gue gak mau Lo nangis. Lo inget janji Lo dulu waktu di telpon ? Lo gak akan nangis lagi. Gue masih pegang janji Lo, Fy. Sampai kapanpun. Sampai Gue mati.

Ify, Gue orang yang bodoh. Gue orang yang gak pantes Lo kagumin. Gue gak sehebat yang Lo kira Fy. Gue lemah. Gue penyakitan . dan umur Gue udah gak akan lama lagi. Penyakit sialan ini betah banget tinggal di tubuh Gue.

LEUKIMIA. Denger nya aja bikin orang merinding. Dan coba Lo bayangin gimana orang yang ngersain sakitnya ? itulah Gue Fy !

Sakit banget ! gue aja gak tahan. Dan Gue sudah putus asa.

Fy, maafin Gue udah bohong sama Lo masalah gue pergi ke London buat study. Sebenernya Gue ke sana buat berobat. Tapi sama sekali gak kasih hasil yang memuaskan. Malahan doker bilang Gue udah gak punya kesempatan buat hidup.

Gue sedih banget dengernya.

Bukan karna Gue takut untuk mati.

Tapi Gue takut, Gue gak akan bisa ketemu dan minta maaf sama Lo secara langsung.

Gue takut gak bisa ngeliat senyum manis Lo lagi. Gue takut, takut banget.

Ify.. Gue mau bilang sesuatu sama Lo ,

Gue Sayang Lo, Fy ! Gue CINTA Lo.....

Lo cinta pertama dan terakhir buat Gue.

Maaf Gue ngomongnya telat. Maaf juga kalo setelah Gue bilang ini, Gue udah gak ada.

Ify, Mario orang yang cocok buat Lo.

Gue tau kalian sering jalan bareng. Maaf, Fy kalo Gue sering mata-matain Lo.

Dan kelihatannya Mario mencintai Lo tulus. Dia bisa bahagiain Lo. Bahkan jauh dari Gue yang gak akan pernah bisa bahagiain Lo.

Ify, Gue harap Lo gak akan lupain Gue.

Sampai jumpa Ify ku.. sampai ketemu lagi. Semoga Tuhan bersedia mempertemukan kita di tempat abadi kelak.

Selamat tinggal

Gabriel Stevent Damanik

“Rio !” aku memeluk Rio. Tangisku pecah setelah tadi berusaha ku tahan selama membaca surat dari Kak Iel.

“Lo boleh nangis sepuasnya. Tapi setelah ini Gue mau Lo jangan sedih lagi. Kak Iel pasti juga gak mau Lo kayak gini terus” Rio menasehatiku, sambil terus mengelus rambutku.

Beginikah akhirnya ? Kakak yang selama ini aku tunggu, ternyata sudah pergi untuk selamanya. Aku tak pernah mengira akan jadi begini. Kakak yang aku sayangi, dan mungkin sempat aku cintai itu ternyata juga mencintaiku. Tapi biarlah berlalu, saat ini ada Rio di sampingku. Aku sangat mencintainya. Rasa sayangku pada Kak Iel nampaknya hanya sebatas sayang dan cinta untuk seorang kakak dan seorang sahabat. Tapi tak pernah ku lupa, Gabriel Stevent Damanik dan Mario Stevano Aditya Haling adalah dua hal yang paling berarti di hidupku setelah Tuhan dan keluargaku.

***

Pagi ini, aku dan Rio berada di makam Kak Iel. Dengan senyum, aku menaburi bunga di kuburnya. Tak akan ada lagi tangis untuknya. Karena aku sudah berjanji, akan tetap tersenyum setiap kali mengenang Kakak yang sangat aku cintai itu.

Rio. Dia lah yang memintaku untuk tetap tersenyum. Dia lah yang terus memberiku semangat. Orang yang sangat aku kagumi dan aku cintai.

Selesai mengunjungi makam Kak Iel dan mendoakannya, aku dan Rio pun pergi. Rio menggenggam tangan ku erat. Persis seperti hari itu. Hari dimana Rio menyatakan perasaannya. Aku tersenyum ke arahnya. Sambil terus berjalan meninggalkan komplek pemakaman.

Sebelum benar-benar pergi dari wilayah sakral itu, aku meminta waktu sebentar kepada Rio. Rio pun mengizinkan.

Aku memandang langit yang cerah pagi itu. Dan berbicara padanya, berharap langit akan menyampaikan ucapan ku untuknya. Untuk Kak Iel.

“AKU MERINDUKANMU, KAKAK” bisikku lirih.

“Fy, buruan !” ajak Rio dari dalam mobil. Aku pun berbalik.

“Ya, bentar lagi Yo...”

“Sampai jumpa, Kak !” pamitku pada Kak Iel. Berharap ia mendengarnya dari atas sana. Semoga saja.

THE END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar