Part 3
Dendam masa lalu…
Reno memacu motornya ugal-ugalan. Membelah lalu lintas Surabaya yang cukup lengang. Tak peduli hujan yang menerjang kulitnya. Reno terus memikirkan dampak kehadiran Valen dalam hidupnya. Dari awal bertemu Valen, rasa ‘tidak suka’ itu ada. Entah kenapa, melihat Valen membuat Reno tak nyaman.
Reno menghentikan motornya di pinggir bendungan. Ia butuh ketenangan. Sejak melihat Valen, dia tak pernah tenang. Rasa dendam selalu menyelimuti dirinya. Walaupun Reno sama sekali tidak tau asal muasal perasaan dendam itu.
Langit masih di selimuti awan, hitam pekat. Tapi hujan sudah mereda. Reno mengeluarkan handphonenya, di lihatnya belasan miscall dari Papanya, dan beberapa sms dari Andre. Ia kembali memasukkan ponselnya kedalam saku tanpa berniat membuka sms-sms itu.
“Dia bener-bener gak asing buat gue. Tapi, siapa dia?” gumam Reno sambil duduk di atas bendungan tersebut. Angin malam menerpa wajahnya. Udara yang dingin menusuk kulitnya. Tapi reno bersikap tak acuh. Walaupun sebenarnya tubuhnya menggigil kedinginan.
Kepala Reno berdenyut-denyut. Sakit. Makin sakit. Reno memutuskan untuk mengambil sebuah obat dari jok motornya. Lalu meminumnya. Perlahan rasa sakit itu hilang.
Alunan lagu Bullet for My Valentine-Hand of Blood sebagai ringtone Reno berbunyi nyaring. Buru-buru di rogohnya ponsel yang berada di dalam saku celananya.
“Mama calling…”
Reno berdecak. Lalu menekan tombol hijau.
“Ya, ma?” Reno mendengus. Mamanya berceloteh panjang lebar via telefon. “Ya, ya. Reno tau… hmm.. okee… yaudah, abis ini Reno ke rumah mama. Bye.”
Sambungan telefon terputus. Reno mendengus. Papanya itu tukang ngadu!!
Papa dan Mama Reno bercerai sejak Reno menginjak kelas 1 SD. Hak asuh Reno di menangkan oleh Papanya. Tapi Papanya juga tak pernah melarangnya untuk menghubungi Mamanya. Bahkan, Reno malah merasa Papa dan Mamanya lebih sering berhubungan walaupun hanya membahas ke’nakalan’ Reno.
Mamanya telah menikah lagi dengan seorang pengusaha dan dikaruniai satu anak perempuan bernama Alyssa, yang 6 tahun lebih muda dari Reno.
Reno menaiki motornya dan melaju kencang kea rah rumah Mamanya.
♪♫♪♫♪
“Ibu gak mau tau, ya. Pokoknya bisa gak bisa, kamu harus memaksa Reno untuk menyetujui ide ibu dan pak Dery kemarin,” ucap Bu Arik.
Valen tertunduk. Kenapa musti saya, bu? Kenapa gak yang lain aja? Yang lebih disiplin, pandai, dan sopan kan juga banyak. Kenapa musti saya? Jeritnya dalam hati.
“Bu, saya…” Valen tak melanjutkan ucapannya karena sosok Reno tiba-tiba masuk ke dalam ruang BK itu.
“Oh, jadi ngomongin saya nih, bu?” Reno menyeringai.
“Kamu! Gak bisa sopan, ya? Ketuk pintu juga bisa, kan?”
“Kenapa harus ketuk pintu kalau pintunya udah kebuka?” Reno berdecak. “Ya, ya. Saya tau apa yang sedang ibu dan Valen omongkan. Karena kemarin papa dan mama saya memaksa saya habis-habisan, oke, saya setuju.”
Perlahan, senyum mengembang di wajah Bu Arik. Reno meyakininya adalah ‘Senyum Kemenangan’. “Tapi…” Reno melangkah mendekati Bu Arik dan duduk di sebelah Valen. “…mungkin saya akan buat Valen sendiri yang akan berniat untuk ‘mengundurkan diri’. Dan saya tidak main-main untuk itu.” Reno berdiri lagi dan beranjak dari sana.
Valen menatap punggung Reno yang semakin menjauh takut-takut. Apa yang akan Reno lakukan padanya? Padahal, dia sama sekali tidak ingin mencari musuh di sekolah ini. dari tatapan Reno saja, ia sudah ketar-ketir. Sepertinya Reno memang tidak main-main dengan perkataannya.
“Sudahlah, jangan di fikirkan ucapan Reno barusan. Yang penting, dia tidak menolak. Kamu atur saja jadwalmu untuk bisa mengajari Reno. Yasudah. Bel masuk akan berbunyi sebentar lagi. Ibu harap, kamu bisa melakukan yang terbaik untuk merubah Reno.”
Valen mengangguk. Oh, Tuhan. Ini bencana besar!!
♪♫♪♫♪
Valen masuk ke dalam kelas dengan perasaan was-was. Mengintai apakah Reno ada disana. Ternyata dia sedang bersama Andre di mejanya. Sepertinya membicarakan sesuatu yang serius. Fikir Valen.
Valen mengangkat bahunya lalu berjalan keluar kelas. Ia lupa kalau sepupunya, Keyla, membawa salah satu buku pelajarannya. Ia pun menuju ke kelas yang tak jauh dari perpustakaan itu.
“Key, buku aku kamu bawa?” Tanya Valen ketika menjumpai Keyla di depan kelasnya.
Keyla mengangguk. “Iya nih Val, sorry ya, kemaren lupa hehe.” Keyla merogoh tasnya. “Nih bukunya,”
“Oke Key, aku balik dulu ya,” Valen hendak melangkahkan kaki, tapi sesuatu seperti menahannya.
Valen melihat di tangga gedung sekolah yang berbentuk L tersebut ada dua orang cowok yang tak kalah seriusnya sedang berbicara. Itu Bima. Tapi dia bersama siapa? Ah entahlah. Valen juga tak mau memikirkannya.
♪♫♪♫♪
“Kamu serius, Ren?” Tanya Andre masih tak perccaya.
Reno mengangguk. “Iya! Gimana gue bisa nolak, coba? Aduh please, nyokap gue tuh segala-galanya! Paling gak bisa gue kalo bangkang perintah nyokap,” jawabnya kacau.
Andre berdecak, “Kamu tuh emang preman berhati Barbie tau gak,”
“Sok tau!” Reno menoyor Andre. “Karena gue percaya kalo surga di telapak kaki nyokap. Kalo lo jadi gue juga pasti lo ngerti,”
“Iya deh, terserah bos Reno sayang aja,” Andre terkekeh sambil meniru gaya Ayu Penghuni Terakhir.
Reno begidik ngeri, “Sayang sayang palalo peyang! Kagak, idih. Najis,”
Andre tergelak. Tak lama kemudian bel berbunyi. Ia melihat Valen tergopoh-gopoh masuk kelas sambil menenteng buku paket Matematika.
“Darimana, Len?”
Valen menaruh barang-barangnya di bangku. “Dari kelas XI-IPA 2. Ngambil buku paket nih, hehe” Valen melirik takut-takut kearah Reno.
“Kenapa lirik-lirik? Gak suka?” cibir Reno.
Valen hampir terlonjak kaget, tapi buru-buru mengatur ekspresinya. “Sok tau, ah,”
Reno berdecak. “Lo udah yakin, mau ngasih bimbel ke gue?”
Valen menghela nafas, “Semoga aja yakin,”
Andre terkekeh. “Harus yakin dong! Kalo gak yakin, mending ngajarin aku aja. Renonya gak usah. Gimana?”
“Ingat Mbak Shinta woy, mau di taruh mana dia??” cibir Bima yang baru datang.
Andre menjitak Bima, “Mbak Shinta selalu di hati gue dong!” bangganya.
“anak-anak, kerjakan task 18 ya, karena Miss Sofi sedang berhalangan untuk hadir, maka kalian harus dan wajib mengerjakan task 18 tersebut. Ada yang perlu di tanyakan?” Tanya Miss Arta, guru bahasa Inggris kelas sebelah.
“Tidak, miss.”
“Oke, selamat mengerjakan. Selamat pagi.” Beliau pun neloyor pergi karena melihat sosok Reno ada di antara kelas ini. pasalnya, Miss Arta pernah di kerjai Reno habis-habisan. Sampai guru itu menangis dan minta pindah kelas.
Reno berdecak. “Tuh guru maunya apaan, sih? Kalo gak masuk yaudah, kenapa pake suruh kerjain tugas segala. Besok-besok kan bisa. Kaya gak ada hari lain aja,” sungutnya.
“Hahaha, kaya ga tau aja sih! Ngantin yuk?” ajak Andre.
Bima menggeleng, “Males. Lagi gak pengen,” jawabnya.
Andre mengangguk lalu menatap Reno, “Ngantin?”
“Boleh,” jawab Reno singkat sambil beranjak dari duduknya. Diikuti oleh Andre.
Valen geleng-geleng kepala. “ga takut dimarahi apa?” gumamnya.
“Ya gitu deh mereka. Mana takut? Kalo si Andre sih masih ada batasnya. Nah kalo Reno? Mau dia ngapain aja, ga bakal ada guru yang nge-DO dia.” Jelas Bima.
“Ohya? Kenapa?”
“Pengaruh bokapnya Reno pemilik yayasan kali,” celetuk Bima sambil menulis tugasnya.
“Oh, Reno anaknya pemilik yayasan??” Valen mengangguk-angguk mengerti. Pantes aja! Dia ngelakuin apa yang dia mau. Batinnya.
**
“bimbelnya mulai kapan?” Tanya Reno tak acuh sewaktu kelas hampir kosong.
Valen berdehem sebentar, “Sebenernya hari ini sih. Tapi aku bingung gimana ngomongnya ke kamu. Kebetulan kamu tanya.”
“Yaudah, di rumah lo aja.”
“Ap..a?” Valen menyerngit kaget
“Iya, kenapa? Ga suka? Yaudah berenti aja jadi guru bimbel gue,” jawab Reno datar.
Valen mendengus, “Yaudah, aku minta nomor hape kamu, nanti aku smsin.” Valen menyerahkan ponselnya pada Reno. Dengan sigap Reno mengetikkan nomornya dan menyimpannya di ponsel Valen.
“Oke, gue tunggu sms dari lo.” Ucap Reno sambil bangkit dari duduknya.
Bel pulang telah berdering sejak 10 menit yang lalu. Tapi rasanya Valen masih enggan melangkahkan kaki untuk pulang kalau mengingat hari ini adalah hari pertamanya memberi bimbel untuk Reno. Bu Arik tadi juga berpesan, Reno sebenarnya murid yang cukup pintar.
‘Kalo pintar kenapa harus dapet bimbel??’ batin Valen kesal.
Lalu ia kembali teringat kata-kata bu Arik yang lain. ‘Kamu ga perlu memberinya pelajaran yang sekiranya serius. Kamu hanya perlu mendekatkan diri kamu pada Reno dan merubah kebandelan Reno. Pelan-pelan kamu masuk ke hidup dia, untuk menghandle kelakuan dia. Jadi, disini bukan bimbel biasa.’
Yang lebih membuat Valen kesal, Bu Arik menunjuknya seperti sudah benar-benar tak ada orang lain lagi yang bisa merubah Reno. Aneh! Murid cewek disini banyak. Murid yang lebih disiplin juga banyak. Kenapa ga ketua osis aja? Atau guru-guru? Mereka kan lebih bisa mendidik Reno daripada Valen? Murid pindahan yang masih ga tau ‘sebandel’ apa sih Reno itu?
Dari tatapan mata Reno yang dingin dan cara bicaranya yang tak acuh membuat Valen makin kesal. Gimana ga kesal? Valen niatnya tulus mau bantu Reno, tapi tanggepannya? Belum ada sebulan Valen sekolah disini, tapi dia merasa sudah dalam bahaya. Dan Reno bahaya terbesarnya! Oh dear..
“Len, pulang bareng yuk?” ucap seseorang di ambang pintu.
Valen terlonjak kaget. “Dih! Kamu, ngagetin aja sih?” ujarnya sambil mengelus-elus dadanya. Kaget!
Keyla meringis. “Ya maaf Len! Yuk pulang, aku males pulang naek angkot sendirian. Kamu bawa motor kan?”
Valen mengangguk. “Yaudah, yuk pulang” Valen beranjak dari duduknya lalu menggamit lengan saudaranya tersebut.
**
Reno memandangi layar ponselnya. Ringtone Silverstein - Apologize mengumandangkan SMS Valen. Reno masih menatapi sms itu tanpa berniat untuk membukanya.
“Ga tau orang lagi istirahat gini ya? Kan jarang-jarang gue istirahat. Huh,” gerutunya pada ponselnya.
Tapi mau bagaimana lagi? Dia sama sekali tak bisa menolak perintah mamanya itu. Mamanya sangat tak suka di bangkang. Dan Reno juga tak pernah sanggup untuk membangkang. Bagi Reno, mama adalah segala-galanya. Aaaaah, tapi kenapa harus Valen? Kaya ga ada cewek lain aja.
Si Putri, yang cantik dan unyu-unyu itu boleh. Dia selain cantik, pinter juga kok. Lah Valen? Cantik sih ga, Cuma manis. Dan mukanya ga ngebosenin. Oke, Reno akui itu. Mukanya yang polos tanpa make up—ga kaya cewek-cewek centil di sekolah Reno, mata belonya, hidung peseknya, rambut panjangnya yang di gaerai. Dia juga sama sekali tak asing bagi Reno.
“Hei, apa-apaan sih gue?” ujarnya heran. Kok malah mikirin Valen? Reno menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Ke rumah valen ga ya?” Reno memandangi ponselnya. Sudah 4 sms Valen yang masuk. Menanyakan keberadaannya. “Iya iya gue berangkat! Dih ga sabaran amat,” maki Reno pada ponselnya.
Reno bangkit dari tidurnya dan mengacak-acak lemarinya. Lalu mengambil paksa kaos berwarna hijau tua dan celana jeans favoritnya. Dan disambarnya kontak motor dari atas meja belajarnya. “Lets did it!” gumamnya.
**
Valen menggerutu. ‘Kemana sih cowok itu? Di sms sama sekali ga di bales. Maunya apa? Kalo emang dia ga mau bimbel sama Valen, yaudah! Seenggaknya di bales kek, biar aku ga nungguin sampe lumutan gini.’ Kesal Valen.
Valen masih ingat pertama kalinya Valen bertemu dengan Reno. Tapi bukan di sekolah! Melainkan di rumah Kevin. Kevin? Ya. Mantan Valen. Valen masih sangat ingat. Waktu itu dia baru kelas XI dan Reno berada di Semarang untuk menghabiskan liburannya. Kevin adalah saudara sepupu Reno.
Reno pernah membuat malu Valen di depan Kevin! Kejadian itu begitu cepat tapi akan selalu di kenang Valen sampai ia mampu untuk melupakannya. Kejadian paling memalukan menurutnya! Dan, apakah segampang itu Reno melupakan kejadian itu??
Valen memang baru benar-benar ngeh saat mengetahui nama panjang Reno. Reno Digta Wijaya. Ingatan Valen langsung mengingat kejadian itu. Pantas saja, Valen merasa tidak asing. Dan Valen juga merasa ada sesuatu dalam dirinya saat bertemu Reno. Ternyata dendam di masa lalu toh?
Valen berdecak. Sudah setengah jam setelah ia mengirim sms pada Reno, tapi Reno sama sekali tak mengacuhkannya. Bener-bener deh! Keterlaluan! Gerutu Valen.
Bel rumah Valen berbunyi. Dengan perasaan dongkol karena Reno yang mengabaikan SMS nya tadi, ia membuka pintu lumayan kasar.
“Hei, kenapa? Nungguin gue lama ya?” ujar seseorang di balik pintu yang kini tengah memasang tampang innocent.
Valen mendelik. Nyante amat sih ni cowok! Tau ga sih aku udah lumutan? Ih.
Tanpa menunggu aba-aba, Reno masuk ke dalam rumah Valen tanpa melihat perubahan ekspresi dari cewek itu. Valen mendengus sebal. Udah jadi lumutan kaya gini, eh dianya nyante banget masuk kaya ga punya dosa. Please deh! Gerutu Valen dalam hati
“Udah di mulai aja deh, daripada gue berubah fikiran” ujar Reno sambil duduk di sofa Valen. Valen mendengus. Ini amanat dari bu Arik. Dan ia tak berani membangkangnya.
Valen berjalan kea rah Reno lalu mulai meraih buku sejarah. “Denger-denger, kamu ga jago sejarah ya? Mmm, jadi kita mulai dari sejarah dulu,”
Reno merebut buku sejarah dari Valen. “Sok tau! Gue ga mau sejarah. Apa enaknya sih ngebahas ‘sesuatu’ yang udah ga ada?” ujarnya.
“Tapi kamu lemah di mata pelajaran ini, Reno. Kalo sains, kamu ga perlu di raguin lagi. Pasti pinter. Nah sejarah kamu nilainya….” Valen menggantung kalimatnya.
“Ah, pokoknya gue ga mau. Yang lain aja kenapa sih?”
Valen berdecak, “Yaudah sih kalo ga mau, tinggal kasih tau bu Arik aja. Gampang kan,” Valen tersenyum sinis.
“Lo tuh ya, baru juga beberapa minggu sebangku sama gue. Jangan sok ngatur-ngatur gitu deh. Gue paling ga suka di atur-atur” Reno membanting buku sejarah tersebut.
Valen mengambilnya, “Sekarang, posisi aku tuh guru les kamu. Jadi kamu harus nurut. Udah, ambil buku tulis terus kerjain soal yang aku dektein,”
Reno mendengus, “sekali ga mau tetep ga mau. Emang dengan lo jadi guru les gue, lo bisa ngebuat peraturan kalo gue harus nurutin lo?”
“Ya bisa lah! Karena disini, aku guru kamu” jawab Valen tak acuh.
Reno bangkit dari duduknya. “Yaudah deh, hari ini lesnya sampe disini aja. Gue balik dulu” pamit Reno yang langsung neloyor pergi.
Valen ternganga. Renooo!!!!! Setelah hampir sejam kamu buat aku nunggu, terus tiba-tiba kamu dateng, belom ada 10 menit kamu udah cabut? Ya Tuhan. Reno bener-bener bencana buat aku!! Gerutunya dalam hati.
**
“hah? Ga berhasil?” Bu Arik melotot kea rah Valen yang mengangguk. “Kenapa bisa?”
“Eh, mm anu bu, Reno saya ajak belajar sejarah malah ga mau. Kan saya lihat nilai sejarah Reno kurang memuaskan. Jadi saya rasa saya bisa memulai les dengan pelajaran itu. Eh, dianya nyolot dan terjadilah adu mulut di antara kami. Tiba-tiba dia pergi begitu aja” ucap Valen kesal sambil merengut.
Bu Arik geleng-geleng kepala. “benar-benar di luar kepala saya,” ujarnya. “saya yakin setelah ini akan lebih sulit. Kamu memulainya dengan sesuatu yang buruk, pasti kedepannya akan lebih buruk lagi.”
“moga aja ga kaya gitu” lirih Valen.
“Baiklah, terimakasih laporannya. Kamu boleh kembali ke kelas sekarang,” Valen mengangguk dan beranjak dari ruang BP.
Reno melipatkan tangannya di dada sambil bersandar pada tembok. “Udah ngadunya?”
Valen terlonjak. Kaget. Beberapa kali mengelus dadanya. Langkahnya terhenti, matanya membulat melihat Reno ada didepannya.
“Kaya ngeliat setan aja sampe kaget gitu, biasa aja kali,” cibir Reno
Valen mendengus, “Kamu kan emang setan” gumamnya.
“berani amat lo ngatain gue?” Reno mendekatkan wajahnya ke Valen, sedikit membungkuk.
“Kenapa ga?” tantang Valen. Padahal dalam hati dia ketir-ketir. Bodoh banget sih aku! Kenapa sok nantangin Reno???
Reno manggut-manggut, “iya iya iya. Oke, jadi selain kita nantinya jadi ‘guru dan murid’, kita juga jadi musuh? Mmm, lo udah mulai cari gara-gara sama gue. Jangan harap lo bisa keluar hidup-hidup,” desis Reno tepat di samping Valen, lalu berlalu darisana.
Valen tercenung. Apa bener yang dikatain Reno tadi? Cuma main-main atau emang beneran ngancem sih?? Valen mengangkat bahu lalu beranjak darisana.
**
“lo bener-bener mau kerjasama sama gue, Bim? Ga takut sama konsekuensinya??” ujar seseorang bersuara berat itu.
Bima menggeleng, “gue benci dia Lan. Dia seenaknya sendiri. Apalagi kalo ngomong, ga pernah pake otak. Dan dia selalu merebut apa yang sebenernya tuh bukan hak dia. Itu juga yang terjadi sama gue. Dia selalu ngerebut apa yang menjadi hak gue. Dia ngerenggut satu-satunya sumber kebahagiaan gue. Gue juga yakin, bentar lagi dia bakalan ngerebut cewek yang gue sukai” Bima berdecak.
Cowok di depannya—yang ternyata Dylan—tersenyum. “Oke, ini keputusan lo. Welcome to my genk, Bima…” Dylan merentangkan tangannya. Lalu melakukan toss dengan Bima dan beberapa orang yang merupakan ‘jongos’-nya Dylan.
Bima menyeringai, “yaaah, thanks Lan,” lalu ia berhambur dengan Dylan and the genk.
**
Andre masih melongo. Tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Bima dan Dylan bekerja sama? Apa-apaan nih? Ada dendam apa Bima dengan Reno? Menjadi teman mereka berdua hampir 4 tahun ini membuatnya merasa janggal. Sejak kapan Reno berusaha merebut apa yang Bima punya? Hak Bima? Cewek? Mereka ngomong apaan sih?
Reno memang tukang cabut dan tak peduli sama sekali dengan peraturan sekolah. Reno juga bukan orang yang gampang memberi belas kasihan pada orang lain yang tak di kenalnya. Tapi pada Andre dan Bima? Reno tak pernah sekalipun menyakiti hati Andre maupun Bima.
Tiba-tiba Andre mengingat masa-masa SMPnya dengan Reno dan Bima. Tiba-tiba bayangan itu berkelebat dalam benaknya. Mungkin masalah itu, yang membuat Bima sampai sekarang tak pernah bisa menghapus kekesalannya pada Reno. Ya, mungkin saja karena itu. Bahkan mungkin sekarang lebih dari rasa kesal, tapi benci dan amarah.
Andre tersenyum getir. Maaf, Ren. Sebagai sahabat kamu yang udah terlalu mengenal kamu luar dalam, kalau menyangkut masalah ini, aku ga bisa bantu apa-apa. Batinnya.
**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar