Jumat, 29 Juli 2011

Almost Soulmate (part 5)

Hallo hallo, maaf ya ngaret, maaf banget,. Soalnya saya lagi sibuk beradaptasi sama pelajaran baru, kelas baru, guru baru, dan gaya baru ckakakkaka. Makanya nih cerbung ngaret :p

Oiya, sekedar woro-woro. Mulai kelas 9 ini aku jarang ngepost ya, mungkin bakalan di sibukin sama sekolah. mana guru aku galak galak lagi ;((( *hiksssss

Yaaaaasudahlah, jika ada kesalahan, mohon dimaafkan. Jika ada nama yang sekiranya ‘familiar’, iyaaaaa, ini semua nama-nama pemeran pembantunya dari novel yang pernah aku baca. Wkwkwkwk. -_-V

Aaaaa sudahlah, tanpa banyak bacot, saya persembahkaaaaan… *jreng jreeeeeng*

ALMOST SOULMATE PART 5!!

_##########_

Agni dan ify bertemu seusai sekolah bubar. Agni bersekolah tak jauh dari sekolah SOSA. Mereka pun bertemu di sebuah coffe shop yang tak jauh dari sekolah mereka.

“Hei Ag!” sapa Ify saat dia masuk ke dalam coffe shop itu.

Agni mendongak. “Hey!”

“Udah lama kah??”

Agni menggeleng, “baru 10 menitan kok” ia menatap ify dari atas sampai bawah. “waw, cantik banget fy! Kamu sekolah di SOSA ya?”

“iyaa!” ify mengangguk angguk. “baru masuk hampir seminggu ini. duh, pelajarannya susah susah ya” keluh ify.

Agni meringis, “iya fy. Udah kelas 12, heeeeh, aku sendiri juga pusing mikir pelajaran yang makin lama makin susah. Enak kamu sih pelajarannya ‘ga biasa’, nah aku? ‘luar biasa’ bikin aku puyeng setengah mati. Duh duh duh” gerutu Agni.

“mau pesan apa mbak?” tanya pelayan sat menghampiri meja mereka.

“mau pesen…… orange juice aja mbak” sahut Ify

“hmmm… aku mau cappucchino float aja ya,”

“baik, ada yang mau di tambah??”

“kamu mau makan fy?” tanyaa agni. Ify menggeleng “Yaudah mbak, itu dulu aja”

“baik mbak,, tunggu sebentar ya” pelayan itu pun pergi.

“hehe, SOSA itu gampang gampang susah. Pelajaran musiknya itu susah tau. Harus bisa minimal 3 alat musik. Lha aku??? Cuma satu. Itu aja gak pinter maennya”

Agni terkekeh, “tetep aja! Ga akan ada pelajaran sejarah, atau fisika. Atau matematika. Atau…. Ya semacam itu. Nah aku? Ckckck. Setiap jam-jam tertentu harus ngerasain yang namanya ‘migran mendadak’ gara-gara pelajaran yang perlu IQ tinggi itu”

Ify mendorong bahu agni pelan sambil terkekeh “lebay kamu, ah”

“eh beneran tau, kamu ga ngerasain sih . ujian kamu gampang, Cuma metik gitar atau mainin tuts piano. Kalo aku harus ngerjain bejibun soal yang padahal baru baca soalnya aja rasanya udah mual” agni meringis.

“iihhh, agni bisa aja! Sejak kapan kamu jadi lebay begini?? Hehehe, aku juga pernah ngerasain kok. Tapi waktu kelas 2 SMA kemarin. Dan perasaan juga gak sampai bikin aku migran atau mau muntah” ify menggeleng-geleng

Tak lama kemudian pelayan datang menghampiri mereka berdua. Memberikan pesanan mereka berdua.

“hmmm, kamu ke Jakarta niatnya mau nyari si Stev toh?” tanya agni setelah ify selesai bercerita.

Ify mengangguk. “iya dong, selain pengen ketemu Stev, aku juga pengen ketemu sama ibu aku. Kata bunda, ibu aku masih hidup. Ya, walaupun ayah aku mungkin waktu kecelakaan ga tertolong lagi nyawanya”

Agni mengusap-usap punggung ify “yang sabar ya? Aku mau kok bantuin kamu nyari stev sama ibu mu”

“makasih ya Ag” ify pun memeluk agni.

Agni mengangguk “itu gunanya sahabat”

Merekapun kembali tertawa-tawa sambil bercerita tentang kehidupan masing-masing selama di Jakarta.

**

“Ga bisa Ta, gue yang sama Tari! Bukan elo” ucap seseorang dari luar agak kesal.

“apaan sih? Mimpi lo ketinggian amat Ri! Gue yang cocok buat Tari. Image lo di depan Tari itu udah ancur. Ga bisa di rubah. Dan gue masih belum bikin masalah sama Tari. Jadi gue yang lebih pantes. Coba itung, berapa kali dia lo bikin nangis?” sungut seseorang yang bersuara lebih tenang.

Debo yang merasa penasaran dengan keributan kecil di luar kamarnya akhirnya memutuskan untuk keluar. Ia mendapati dua orang berwajah sama—yang ia ketahui sebagai Ata dan Ari—sedang duduk di ruang keluarga yang berada di lantai dua sambil bermain nitendo dan adu bacot.

“ga boleh. Gue duluan yang kenal Tari. Asal lo tau Ta, dia itu sebenernya sayang sama gue. Dia Cuma gengsi aja buat ngaku. Dan kehadiran lo itu ga bisa ngerubah apa-apa. Takdir dia tetep sama gue. Bukan sama elo” kata cowok berkaos hitam itu.

Cowok berkacamata di depannya itu melepas kacamatanya sambil memijat hidungnya beberapa kali. “udah lah, lo ga usah sok ngatur takdir. Ga ada yang tau takdir orang itu gimana. Dan gue yakin di hati Tari yang ada tuh Cuma benci yang makin hari makin bertumpuk gara-gara adanya elo”

Debo mematung. Ia merasa walaupun secara tak langsung, tidak boleh mendengarkn pembicaraan kedua kembar identik ini. ia pun memutuskan untuk kembali ke kamar.

“Eh, siapa lo?” suara berat yang aura ‘kekesalannya’ masih sangat terasa tiba-tiba membuat langkah Debo terhenti.

Debo berbalik dan memandang mereka berdua “a..ku Debo.. debo andryos..”

Ari—cowok berkaos hitam yang suaranya berat—manggut-manggut. “Oh jadi lo keluarga baru kita? Welcome deh” ujarnya tak acuh.

“lo tuh ya, dia lebih tua dari kita. Harusnya kita tuh ngehormati dia tau!” sungut Ata—cowok berkacamata yang terlihat tenang. “selamat datang ya, semoga lo betah disini. Maafin Ari, dia emang keterlaluan” ujarnya sambil tersenyum.

Debo mengangguk canggung.

“oia, gue Ata. Matahari Jingga. Dan dia Ari, Matahari Senja” tambah Ata.

“ya, aku tau kok” ujar Debo sambil tersenyum.

“okey, mau gabung?” tawar ata.

Debo menggeleng, “engga deh. Kayaknya kalian lagi seru ngomongnya. Aku gak mau ganggu,” tolaknya.

“jadi lo denger??”Ari menyeringai lalu mendekati Debo dengan langkah seribu. “menurut lo, gue cocok sama Tari kan? Iya kan? Iya dong” ujar Ari gaje.

Debo menggaruk tengkuknya yang sama sekali tak gatal, “yaah…”

“Tuh kan ! apa gue bilang. Yang lebih pantes sama Tari itu gue, bukan elooo..!!!” kata Ari girang.

Ata mematikan nitendo lalu menghampiri Ari sambil memasukan tangannya kedalam saku. “jangan di ladeni tuh si Ari. Otak nya agak….” Ata menaruh telunjuknya di dahi sambil berlalu meninggalkan mereka.

“jangan didengerin. Ata tuh yang lebih sinting!!” ujar Ari tak terima.

Debo terkekeh, jadi begini rasanya punya adik laki-laki yang umurnya tak berpaut jauh??

“oiya, lo eh salah, kak deh, karena gue lagi baik gue hormatin elo” Ari memandang Debo dari atas kebawah “lo anak SOSA ya kata bokap??”

Debo mengangguk. “iya, kenapa??”

“gapapa sih, keren dong sekolah disana. Pasti kenal sama sivia? Model cantik itu, yang umurnya di bawah gue?”

Debo menggeleng, “belum kenal kok. Baru juga masuk di sana”

Ari membulatkan mulutnya ,”yaudah deh, gue cabut dulu ya. Ada urusan” ari menepuk-nepuk bahu Debo lalu berlalu darisana.

“Ah,mereka ga se’sinis’ yang aku kira ternyata. Bayanganku sih, Ari kejem, sadis dan nentang aku abis-abisan tapi ga kaya gitu ternyata. Terus, aku kira Ata juga bakalan nolak. Dia emang cool sih, dingin abis tapi dia juga kelihatannya baik kok” gumam Debo sambil melangkah masuk ke kamarnya.

**

Gabriel membolak balik kertas di hadapannya. Menghafal bait demi bait lagu yang tertulis di kertas itu. Cakka sibuk berduet dengan Zeva, melatih permainan gitar dan bassnya. Ray sibuk memukul stik tanpa drum (tau kan maksudnya??).

“sejak saat pertama, melihat senyumannya

Jantung berdebar debar inikah pertanda?

Namun ternyata salah, harapanku pun musnah

Sejak aku melihat kau selalu dengannya

Tuhan tolong aku ingin dirinya

rindu padanya memikirkannya

Namun mengapa saat jatuh cinta

Sayang sayang dia ada yang punya

Mungkin ku harus pergi tuk melupakannya

Dalam hati berkata takkan sanggup pergi

Tlahku coba menghapus bayang bayang indah

Tetapi selalu aku merindu lagi”

Cakka berdecak. “Masih gak bisa, Ze. Bingung gue” keluhnya.

Zevana—biasa di panggil Zeze—geleng-geleng, “Lo tuh udah ngeband berapa tahun sih? Masa gitu aja gak bisa? Gini loh..” zeze mengajarkan beberapa nada di dalam kertas itu. Cakka dengan sabar mengikutinya.

Nathaniel Wirawan—sepupu Zeze—masuk kedalam studio, lalu menyerngit. “Kok pada loyo?”

Iyel menggeleng, “Sebenernya nggak loyo sih Nat, Cuma…” iyel menggangung kalimatnya.

Nata—panggilannya—mengangguk-angguk. “gue ngerti.. kalian nervous ya?”

“Kayanya gitu,” ujar Zeze ragu.

Nata tersenyum, lalu duduk di samping Gabriel. “gue kasih tau ya, kalo lo semua kaya gini, lo nggak bakal tau sampe mana kemampuan lo. Nervous itu wjar. Semua orang bakal ngalamin, kok. Tapi, masa iya sih nervous terus-terusan? Kalo gini caranya lo semua nggak bakal dapetin apa yang kalian pengen,” tuturnya bijak.

Ray mendengus, “tetep aja! Ini penampilan pertama kita, bang. Kalo tampil di sekolah sih, no problem. Nah ini?? di TV bang! Bayangin, semua orang yang lagi nonton TV nonton kita! Oh tidaaakkkk…” ujar Ray lebay.

Nata terkekeh. “Liat deh gue sekarang.. gue dulu juga kaya kalian ini. nervous, bingung, takut, campur aduk deh! Tapi parahnya lagi, gue tampil Cuma di acara 17san! Nggak kaya kalian, yang udah berani tampil di depan temen-temen SMA kalian..” Nata tersenyum. “..terus, karena dukungan Niki, gue jadi seperti sekarang. Lulus dari sekolah musikk di new York, jadi guru musikk di SMA Harapan, terus manggung dari café ke café, tanpa rasa nervous itu lagi.”

“lo mah enak, ada kak Niki. Nah kita?” cibir zeze.

Nata mengacak-acak rambut sepupunya tersayang itu. “intinya, kalo kalian bener-bener cinta sama musikk, sewaktu kalian megang tuh alat, misalnya elo Ze, lo cinta sama bass, waktu lo di panggung, lo nggak akan peduli, siapa, dimana, berapa, kapan, dan gimana orang-orang yang nonton lo. Lo akan hanyut dalam permainan lo sendiri. Kata orang? Masa bodoh! Yang penting lo udah kasih yang terbaik buat diri lo sendiri”

“jadi itu yang lo rasain waktu manggung, bang?” tanya cakka.

Nata mengangguk. “ya, dan kegagalan itu awal dari sebuah kesuksesan. Jadi jangan takut gagal,”

Senyum merekah di antara mereka berempat. “Makasih buat pencerahannya, bang!” Ray dan Iyel nyengir.

“yeepp, sama-sama. Jangan loyo latihannya, gue pasti dateng waktu kalian manggung” Nata berdiri dan beranjak dari sana.

Sebelum beranjak, Zeze menyeringai dan berseru, “ASAL JANGAN BAWA POMPOM KAYA KAK NIKI AJA, YA!!” dan tawa meledak di antara mereka berlima.

**

Alvin memandangi fotonya dan Sivia yang bertengger rapi diruang kerjanya. Pekerjaan yang akhir-akhir ini menyita waktunya membuatnya jarang bertemu Sivia. Pun, ayahnya, Moses Sindunata, yang lebih sering meeting di luar kantor membuatnya mendapat pekerjaan yang dua kali lebih berat.

Persaingan S-Entertaiment dengan NRG-Ent makin ketat. Dua-duanya selalu mendapat projek baru. Mendatangkan artis baru, sinetron baru, FTV baru, film baru, album baru, dan masih banyak lagi. Persaingan itu lah yang membuat Alvin semakin pusing. Untuk saat ini, otaknya hanya bekerja untuk perusahaan. Urusan Sivia pun ia lupakan sesaat. Sampai ayahnya kembali dari Semarang dan mengambil alih kembali perusahaan.

“Vin,” suara baritone yang sudah tak asing lagi membuat Alvin menoleh.

Rio berdiri di depan pintu, menatapnya—seperti—iba. “Masuk,” ujar Alvin. Rio pun masuk kedalam ruangan Alvin dan duduk didepannya.

“Sibuk amat? Ngerjain apaan?”

“Nih, proposalnya anak-anak HRD yang harus di email ke Papa hari ini juga. Mana harus di edit dulu lagi,” keluhnya.

Rio manggut-manggut. “Mau gue bantuin?”

Alvin terkekeh, “jangan lo fikir, gue nggak tau apa-apa soal keterbatasan IQ yang elo punya, Yo.”

“Sialan lo!” Rio merengut, lalu matanya mendapati ekor mata Alvin yang terus menatap fotonya dengan Sivia. “gue denger-denger.. lo nembak sivia ya?”

Alvin sedikit terkejut, lalu kembali menormalkan detak jantungnya, yang berpacu lebih cepat ketika nama Sivia di sebut. “Iya,” jawabnya.

“terus?”

Alvin menghela nafas. “DIa bilang, dia butuh waktu. Dan gue nggak maksa dia buat kasih jawabannya,”

“Lo salah Vin. Jangan kaya gitu. Mau nggak mau, gimana pun jawabannya, lo harus tetep tau gimana perasaannya ke elo. Status adek-kakak antara cewek sama cowok nggak akan selalu berjalan sebagai ‘adek-kakak’. Yang ada malah numbuhin benih-benih cinta. Lo udah ngerasain, kan? Dan gue yakin, lambat laun, Sivia juga pasti ngerasain itu. Status adek-kakak itu Cuma kamuflase dari perasaan lo sama dia aja.” Tutur Rio.

“sejak kapan, Mario stevano jadi orang sebijak ini?” cibir Alvin.

Rio meringis, “Di nasehatin juga!” ia menyambar kertas-kertas yang berserakan di atas meja Alvin. “kesibukan lo ini bukan jalan buat ngehindar dari jawaban Sivia, kan?”

“Ya nggak lah! Ini tuh bokap yang kasih perusahaan ke gue, selama bokap masih di Semarang” ujar Alvin sewot.

“karena kesibukan lo itulah, Cuma Sivia yang ada di dalem otak lo. Coba aja, lo sedikit refreshing, hang out-hang out gitu, pasti ada cewek lain, selain Sivia yang bisa ngebuat lo jatuh cinta. Please deh, cewek nggak Cuma dia doang..”

Alvin menggeleng, “percuma. Gue udah pernah coba.”

“Serius udah pernah? Gue nggak yakin.”

Alvin menyerngit, “nggak yakin gimana? Gue beneran udah pernah coba. Dan hasilnya, Cuma Sivia yang selalu ada di hati gue,”

“apakah lo ada di hatinya Sivia?”

Kata-kata Rio menusuk Alvin tepat sasaran. Dalam sekali.

“Move on lah, Vin. Gue yakin, dengan tampang lo yang bisa di bilang cakep, yaaah walaupun cakepan gue, pasti banyak diluar sana cewek-cewek yang bakalan terpesona sama lo. Disitu, lo pilih deh.”

Alvin tertawa sumbang, “nggak segampang itu, Yo.”

“lo cowok loh Vin. Nggak seharusnya lo lemah. Apalagi di depan cewek. Ngegalau gara-gara cewek? Dih,, nggak nggak nggak level,” kata Rio menirukan gaya 7Icons.

“di hati Sivia Cuma ada nama gue,” ujar Rio sambil terkikik. “cari cewek lain deh, gue kasian liat elo yang terus ngarepin cintanya cewek plin plan kayak dia,”

“di tampung dulu deh idenya,” jawab Alvin sambil tersenyum.

“yaudah, gue mau balik dulu. Kesini sih sebenernya Cuma pengen mastiin, lo lagi ngegalau di tengah-tengah kerjaan lo yang numpuk ato nggak.” Rio menyeringai. “Gue balik dulu ya apinnn,”

“Yo!” panggil Alvin sebelum Rio sampai di depan pintu.

Rio menoleh, “ada apaan?”

“lo sahabat gue kan?”

Rio mengangguk. “iya lah! Kenapa?”

“lo mau lakuin apa aja buat gue seneng?”

Rio menyerngit, “iya”

“kalo gue nggak bisa bahagiain Sivia, gue mohon lo ya, yang bahagiain dia??”

Rio melotot, “Apaan? Kagak! Gue nggak mau!!” sewotnya.

“ayolah, gue Cuma minta itu aja buat elo, kok.”

Rio menggeleng tegas, “nggak Vin. Gue nggak ada perasaan sama sekali sama Sivia. Dan gue nggak akan setega itu buat ‘macarin’ dia demi kebahagiaan sesaat aja,” Rio menutup pintu ruang kerja Alvin.

Alvin terpaku. Apa permintaan tadi benar-benar membuat Sivia akan bahagia nantinya? Apa permintaan tadi juga mampu membuat Alvin puas? Apakah dengan menyatukan Sivia dan Rio semuanya akan berubah? Apakah sikap Sivia ke Alvin setelah itu juga akan berubah?

Alvin menggeleng-gelengkan kepalanya. Dan berkutat kembali dengan proposal-proposal yang siap untuk dikirim kepada ayahnya.

**

Shilla memandangi ponselnya. Kesal, karena seseorang yang di tunggu dari tadi tak kunjung muncul. “Nih anak kemana, sih? Sama sekali nggak bisa di andelin tau nggak?” gerutunya sambil memandangi layar pnselnya.

“Maaf, gue telat.” Ujar cowok bergaya harajuku yang tiba-tiba langsung duduk di depannya.

Shilla mendengus, “Selalu aja telat! Bosen gue dengernya!”

“Ya maaf lah, gue juga sibuk rekaman kali…”

“Apa lo inget, misi lo disini buat apa? Rekaman? Bukan, kan? Lo harus focus sama tujuan awal lo! Jangan sampe lo terikat sama mereka. Sampe lo bener-bener terikat sama mereka, lo bakal tau, gimana marahnya Oom Gub! Dan bisa aja, lo di coret dari daftar pewaris perusahaannya,” Keluh Shilla sambil tersenyum sinis.

Cowok di depannya itu mengangguk, “Iya, gue tau konsekuensi dari semua yang gue lakuin ini. dan gue udah berhati-hati supaya gue nggak terikat sama mereka. Jadi, bisa nggak lo percaya sama gue? Tiap kali ketemu, lo selalu aja nyalah-nyalahin gue. Ini baru berjalan dua minggu, gimana jadinya kalo sebulan? Yang ad ague tertekan karena semua komando yang lo kasih.” Cibirnya.

“Hei, cakka kawekas! Gue kasih tau ini ke elo, supaya lo nggak sembarangan ngambil tindakan. Gue yakin, suatu saat lo pasti akan terikat sama mereka. Bahkan, lo bisa milih mereka dan ninggalin bokap sama kakak lo. Juga NRG-Ent. Gue yakin,” ujar Shilla sambil memandang cakka serius.

“Gue juga yakin kalo gue nggak akan terikat! Udah lah, nggak usah bahas ini! gue capek, males bahas beginian. Adu mulut sama lo itu ngebuat gue tambah capek. Kita langsung ke intinya aja, lah!” sungut Cakka.

Shilla pun mendengus, lalu menerangkan langkah-langkah selanjutnya yang harus di ambil Cakka.

**

Rio menyendenkan tubuhnya di kursi mobil. Lelahnya hari ini, di tambah macetnya jalanan ibu kota hari ini. Rio menggelengkan kepalanya, lalu memencet tombol ‘power on’ pada tape-nya.

“Sering kali, ku melihat..

Kau curi curi pandang kea rah diriku..

Menggodaku, bikin ku malu..

Titip salam lewat semua teman-temanku..

Kau bilang kau suka padaku..

Aku hargai itu..

Kita masih sangat muda belum waktunya..

Sekolah saja dulu raih cita-cita..

Urusan pacaran, tak usah sekarang..

Kita berteman saja..”

Suara merdu milik penyanyi senior, Jonathan, berkumandang ria di telinga Rio. Rio menggelengkan kepalanya. “Kayaknya gue pernah denger ini lagu. Dimana ya?”

Semakin Rio memaksa otaknya untuk mengingat, semakin sakit lah kepalanya. Rio memang tak baik. Sejak kejadian dua tahun yang lalu, yang hampir merenggut nyawanya itulah, Rio mulai kehilangan daya ingatnya sedikit-sedikit. Apalagi tentang masalalunya. Dimana dia menghabiskan waktu semasa kecil, dimana dia bersekolah waktu SD, siapa yang jadi sahabat terbaiknya, Rio tak ingat.

Rio memijit kepalanya yang sedikit kliyengan. Jalanan di depan terasa kabur. Lalu ia mengambil obat peredam sakit kepala yang di berikan Dokter Caraka padanya. Setelah meminumnya, dia merasa tenang. Lalu ia kembali berkutat dengan jalanan di depannya.

Macetnya merayap, sudah hampir sejam dia berhenti di daerah Menteng. Dia lalu menoleh kearah kiri, dan menemukan sebuah warung yang waktu itu ia kunjungi dengan Ify. Lesehan Nubuwati. Rio yang memang sedang lapar pun akhirnya banting setir kearah lesehan tersebut.

“Enaknya makan apaan ya?” gumam Rio sambil mencari tempat duduk. Setelah menemukannya, dia langsung duduk dan membaca menu di depannya.

“Mau pesen apa, mas?” tanya seorang pelayan yang mendekati Rio.

Rio mendongak, “Loh, Agni, ya?”

Cewek yang bernama Agni tersebut mengangguk. “Mas Rio ini, temennya Ify kan?”

“Iya,”

“Oh iya, mau pesen apa, mas?”

Rio membolak balik menu di depannya, lalu menatap Agni lagi. “Makanan yang special hari ini apaan?”

“Hari ini ya?” agni manggut-manggut sambil membuka catatan kecil yang ia pegang. “Hari ini ada cumi saus tiram, terus ada timlo solo, juga ada mie ayam bakso. Hm, Masnya mau yang mana?”

“Yang enak aja deh, sama yang cepet ya, soalnya udah laper banget,”

“Yang cepet sih timlo solo, mas. Bener mau yang itu?”

Rio mengangguk, “Oiya sama minumnya es teh aja deh.”

“Oke, mas. Tunggu sebentar ya,” Agni melangkah masuk ke dalam dapur.

Rio mengambil BBnya, lalu membuka akun twitternya yang sudah jarang ia buka. Di kliknya tulisan ‘replies’, lalu dalam hitungan detik, puluhan mention berjejalan disana. Mention yang sebenarnya sedikit di abaikan Rio, karena pekerjaan yang lebih menyita waktunya.

Sekitar 10 menit kemudian, Agni datang membawa pesanannya. “Ini mas pesenannya, maaf lama ya.” Ujarnya.

“Iya, nggak apa-apa,” jawab Rio. Saat Agni hendak beranjak darisana, Rio menahannya. “Eee, Ag, boleh minta temenin sebentar nggak?”

Agni memandang Rio, bingung, namun ia mengangguk dan duduk di sebelah Rio. “Kenapa, Mas?”

Rio menggeleng, “nggak apa, Cuma pengen kenalan aja. Temennya iFy, temennya gue juga kali hehe. Udah lama tinggal di Jakarta?”

Agni mengangguk. “Udah hampir 4 tahun sih Mas”

“sekarang kelas 12 juga?”

Agni mengangguk lagi.

“Eh maaf ya, gue sambil makan,” uajr Rio sambil menyuapkan sendok demi sendok timlo ke mulutnya.

“Iya, nggak apa-apa kok.”

Mereka berdua pun melanjutkan pembicaraan mereka. Setelah hampir satu setengah jam berada disana, Rio pun pamit untuk undur diri. Ia membayar makanannya dan menghampiri Agni untuk berkata, “Ag, minta nomor lo dong,”

Agni langsung menyebutkan digit angka yang telah di hafalnya luar kepala. Lalu riO Mencatatnya dan beranjak dari sana. Lalu lintas yang mulai lengang membuatnya bisa bernafas lega, lalu segera memacu mobilnya lebih cepat agar sampai dirumah lebih cepat juga.

**

Debo menyelesaikan makan dengan cepat. Rumah ini benar-benar sepi. Hanya ada para pembantu, juga ibunda dari Ata dan Ari saja. Ata-Ari-dan Oom Julian sedang tak ada di rumah. Entah, mereka ada dimana, Debo juga tak tahu.

Tante Agnes—nama ibunda Ata dan Ari—orangnya baik dan ramah. Dia sangat ‘welcome’ pada Debo. Senyum tak pernah lepas dari wajahnya, walaupun keriput telah tampak diwajah wanita berusia 40 tahun tersebut.

“Kamu di SOSA De? Wah, jurusan apa?”

“Jurusan Teater, Tante.”

“Hebat!!” puji Tante Agnes, “kepala sekolah di SOSA siapa? Dulu sih, waktu sepupu tante sekolah disana masih si Juventino Wirjadinata, udah ganti ya sekarang?”

Debo mengangguk, “Sekarang Bu Zahra Damariva, Te. Baru ganti 2 tahun yang lalu katanya,”

“Oh begitu,” Tante Agnes mengangguk-angguk. “Lalu, kamu ada urusan apa ke Jakarta? Selain mengantarkan salah satu adik di panti asuhan kamu itu?”

“Saya ingin menemukan teman masa kecil saya dengan Ify, tante. Terus, saya juga mau bantuin Ify nyari mama kandungnya,”

“Wah, teman masa kecil kalian? Pasti dia special ya?”

Debo mengangguk. “Sangat, tante. Dia pintar menyanyi, dia juga tampan. Yaaah, walaupun Jakarta ini sangat luas, tapi saya dan ify yakin, akan menemukannya. Dan kami nggak akan nyerah sebelum bisa nemuin dia. Karena dia cinta pertama Ify, dan sahabat laki-laki pertama saya,”

“Ohya?” Tante Agnes meneguk minumannya, “Siapa namanya, kalau boleh tau?”

“Kami Cuma kenal 2tahun kurang sih tante, dan waktu itu kami masih kecil, nggak terlalu ingat. Tapi nama panggilannya Stev. Untuk lebih lanjut Stev siapa, kami nggak tahu,” jawab Debo dengan nada putus asa.

“Nama Stev di Jakarta ini lebih dari 100 orang, lho. Jangan patah semangat buat nyari dia, ya. Tante yakin, kalian akan nemuin temen kalian itu. Jangan putus asa, oke!”

Debo tersenyum, “Iya tante.”

“Ari Pulaang….!!!!” Teriak Ari setelah masuk kedalam ruang tamu.

“Nggak usah teriak bisa kali, Ri?” cibir Ata yang berjarak beberapa meter di belakang Ari.

Ari mengangkat bahu, lalu duduk di samping mamanya. “capeeeeeeek banget!” keluh Ari.

“Emang abis ngapain, sih?” tanya tante Agnes.

“Cuma main futsal. Si Ari, tuh, Ma, tenaganya di forsir abis-abisan. Ya capek, lah! Bola selalu di ambil alih, Ata baru dapet, eee udah di ambil lagi,” gerutu Ata.

“Abisnya elo lelet, sih, Ta. Gue juga terlalu bersemangat, soalnya Tari ada disana, ngedukung gue,” ujar Ari dengan bangganya.

Ata berdecak. “tari itu dukung gue tau, Ri. Lo sok tau banget sih jadi orang.”

‘Duh, mulai lagi nih perangnya’ batin Debo sambil terkekeh melihat kembar identik mulai adu mulut.

**

“rumah jadi sepi, nggak ada mas Debo” keluh ify sambil menengadahkan kepalanya. Lalu ia cemberut setelah melihat ada kejanggalan di atas langit. “Bintangnya kemana, sih? Lagi pengen curhat, nih.” Gumam Ify.

“daripada curhat ke benda mati, mending curhat ke gue aja, Fy,” ujar seseorang dari belakang.

_#########_

GIMANA? JELEK YA? Pastiiii iya ._.

Mohon di maklumin, karena saya masih amatiran. Nggak sekeren kak Esti, Kak Winna, Kak Windy, kak Janice, kak Luluk, kak Ivone, kak Novia, dan laen laen yang punya cerbung baaaagus bagussss ._.

Cuma pengen belajar aja, kok. Jadi di maafin, kan, kalo ada salah kata?? *kedip2*

LIKE COMMENTnya jangan lupa ya ceman ceman

#dont forget to follow my twitter : @tazyastevano . My blog : tazyaditya.blogspot.com

Inga inga *tiiiingg*

\Pisslopengaolzz../